Rasa Bersalah

By Yuniar Djafar - Mei 13, 2020


- Gambar oleh Sabine van Erp dari Pixabay -


Bismillah.

Alkisah (😃) saya sedang melintas di sebuah jalan. Di depan sebuah rumah saya berhenti. Saya pencet bel pagar. Seorang perempuan tua sepantaran ibu saya keluar dan menghampiri pintu pagar. Baru setelah dekat dan saling berhadapan beliau berkata dengan senyum lebar, "Oo, kamu, to?"

Saya tersenyum menyeringai, "Iya, bu."

Ini kesekian kali saya mampir ke rumah ini, rumah keluarga teman sepermainan saya saat kecil. Dulu kami bertetangga. Orang yang membukakan pintu pagar tadi adalah ibu teman saya. Seorang pensiunan guru, sama seperti ibu saya. Di rumah yang cukup luas itu beliau tinggal sendiri. 

Di teras depan, biasanya kami berbincang, berbagi kabar. Ada kalanya saya bantu hal-hal ringan yang beliau butuhkan. Benar-benar ringan, seperti simpan alamat di ponsel beliau atau yang semacam itu. Beliau punya ponsel tapi tidak begitu menguasai penggunaannya. Sama seperti ibu saya dan mirip saya juga sebenarnya. Hahaha...

Biasanya kalau sudah seperti itu beliau videocall putri beliau dan kami pun bertiga berbagi cerita. Saya tau mereka gembira bahkan bahagia dengan kedatangan saya. Tak hanya mereka, saya pun merasakan hal yang sama. 

Ada semacam rasa sedih, entah prihatin atau apa.., tidak tau saya musti bilang apa persisnya,  mengetahui beliau tinggal sendiri di rumah. 



Foto: Pixabay


Yang saya ketahui hidup memang tidak selalu linier. Keadaan seringkali memaksa kita menjauh dari harapan dan cita-cita yang ideal. Tinggal sendiri, terpisah di rumah sendiri karena tak ingin kehilangan kenangan lama sedangkan anak-anak dilahirkan untuk mengukir kenangan baru. Saya tidak mempunyai "syak" sedikitpun kepada teman saya karena saya mengenal dia dan keluarganya dengan baik, layaknya keluarga sendiri. Pilihan dalam hidup ada kalanya tidak semanisyang kita inginkan, memang.

Karena itu ada keinginan untuk selalu mengetahui keadaan beliau karena khawatir. Andai saya tidak tahan-tahan, mungkin saya akan mempunyai jadwal rutin kunjungi beliau dan telepon beliau setiap harinya.

Mungkin seperti itu, ya, kalau tinggal berjauhan dengan orang tua? Maksud saya, ada keingin untuk selalu lakukan itu, mengunjungi setiap hari, menelponnya... Saya hanya berandai-andai memang. Saya tidak pernah tinggal terpisah dari orang tua.
Photo by Pixabay in Canva





Tapi sepulang dari rumah itu saya selalu dihantui perasaan bersalah bahkan merasa berdosa. Di rumah, saya beristighfar berulang kali. Itu yang saya lakukan. Mengapa saya tidak pernah bisa melakukan hal yang sama buat ibu saya di rumah? Itu masalahnya. Di hadapan orang lain saya selalu lebih "manis". Dengan ibu saya sendiri saya tidak pernah berbicara selembut sebagaimana saya berbicara dengan ibu teman saya. Saya juga sulit untuk serta merta membantu ibu saya saat beliau minta tolong. Ada saja alasan dan kekesalan yang membuat saya seperti itu. Saya tidak seperhatian itu, sebagaimana saya perhatian dengan ibu teman saya. Itulah sebabnya saya tadi sempat katakan, "andai tidak saya tahan-tahan..." itu. 

Padahal kewajiban yang utama adalah berbakti kepada orang tua sendiri. 
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka  sekali-kali  janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan, "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." Q.S Al Isra (17); 23. 
 Allah selalu memerintahkan kebaikan dengan mengutamakan kebaikan yang ditujukan kepada orang-orang terdekat, di sekitar kita terlebih dulu. 

"Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu." Q.S At-Tahrim (66); 6.

Perintah itu dimulai dari diri sendiri, baru setelah itu keluarga. Bahkan untuk mengambil makanan pun begitu. Ambil yang terdekat.

"Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat denganmu." HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022. 

Kalau sekedar mencari pembenaran akan dapat juga pembenarannya. Bahwa karena sudah setiap hari bertemu, berinteraksi dan serumah atau  "sudah biasa"..., sudah sama tau-nya. Tapi perintah Allah tidak memiliki pengkhususan. Perintahnya berlaku untuk seluruh keadaan, biasa atau tidak biasa.

Saya tidak ingin rasa bersalah itu terus mengikuti. 

"Orang tua adalah pintu surga paling tengah, kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya." HR. Tirmidzi no. 1900, Ibnu Majah no. 63663, Ahmad 6: 445. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.

In sya Allah saya akan selalu berjuang untuk menjaga pintu itu. Andai ada resolusi tahunan, inilah resolusi yang akan selalu tercatat setiap tahun. Resolusi seumur hidup! Allahuma yassir.









Sumber:


Text hadits dikutip dari: 

- www.almanhaj.or.id

- www.muslim.or.id

- www.rumaysho.com














  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. ENTAH SIAP YANG HARUS MENGALAH TAPI SAYA SELALU INGIN DEKAT DENGAN ORANG-ORANG YANG TELAH MEMBESARKAN SAYA, SELAYAKNYA MEMANG SEORANG ANAK YANG HARUS MENGALAH UNTUK MENEMANI SANG IBU

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bismillah. Inilah yang selalu menjadi bahasan di antara anak-anak dengan orang tua yang sudah lanjut usia. Mungkin hal seperti ini lebih mudah dilakukan bagi anak laki-laki mengingat otoritas keluarga sbg imam ada di tangannya. Dan yang paling utama adanya "mandat" dari Allah untuk ini. Anak lelaki milik ibunya. Wallahu 'alam.

      Hapus