- Gambar oleh K L dari Pixabay - |
Bismillah.
Menyayangi binatang adalah perbuatan yang terpuji. Dalam hadits saya temukan kisah seorang wanita pezina yang diampuni Allah karena ketulusannya dalam memberi minum anjing yang kehausan.
"Seorang wanita pelacur diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing itu hampir mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepaskan sepatunya, dan dengan penutup kepalanya dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatan ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah." (HR. Bukhari no. 3321, Muslim no. 2245).
Allah juga tidak ridla kepada mereka yang menganiaya binatang. Dalam sebuah hadits diriwayatkan seorang wanita masuk neraka karena menyiksa seekor kucing.
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma, Rasulullahi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Seorang perempuan disiksa gara-gara seekor kucing. Dia mengurung kucing itu sampai mati. Karena itulah dia masuk neraka. Perempuan itu tidak memberi makan dan minum kepadanya -tatkala dia dikurung-. Dan dia pun tidak melepaskannya supaya bisa memakan serangga atau binatang tanah." (HR. Bukhari dan Muslim).
Binatang rumahan yang umum kita jumpai salah satunya adalah kucing. Setiap pagi saat saya dorong sepeda beroda tiganya, cucu saya yang laki-laki jika bertemu kucing selalu menunjukkan jari telunjuknya pada hewan tersebut. Itu artinya dia minta didekatkan. Usianya belum genap dua tahun tapi dia tak pernah takut jika bertemu hewan ini.
Binatang berbulu lembut itu memang menggemaskan. Dulu, dulu sekali, saya pernah mempunyai enam ekor kucing yang indukannya adalah kucing tetangga. Setiap kucing itu hamil saya seperti mendapat harapan baru. Anak yang dilahirkannya selalu sehat, gemuk dan lucu, itulah sebabnya saya selalu menunggu kabar kelahiran anak-anaknya. Bahkan saya pernah berdoa agar cemeng (bahasa Jawa: anak kucing) yang dilahirkannya berbulu putih bles..., maksud saya berbulu putih total. Hihihi... Itu kejadian saat saya masih sekolah di sekolah menengah.
Tapi saat saya pelihara kucing-kucing itu lingkungan sekitar rumah kami masih persawahan dan tetangga dekat baru satu. Dan satu itu adalah sang pemilik kucing. Cerita kucing itu berakhir saat saya kuliah! Sampai sekarang di rumah tak pernah ada kucing berseliweran kecuali kucing tetangga..!
Kisah Kucing Tetangga
Inilah masalahnya. Di sekitar rumah kami ada empat rumah yang memelihara kucing. Jarak rumah mereka dengan yang saya tinggali tak sampai ratusan meter. Benar-benar berdekatan. Paling jauh selisihnya hanya sekitar 20 meter. Piaraan mereka tak hanya satu, bahkan ada yang ekstrem, satu keluarga dengan anak satu tapi kucingnya pernah mencapai 16 ekor. Kalau yang lain, sih, sepertinya satu, dua hingga empat... Sepertinya begitu. Tidak jelas memang berapa jumlah kucing mereka sebenarnya sebab di antara mereka ada yang sepertinya risih jika disebut memelihara kucing. Yang seperti ini seringkali bilang, "Bukan kucing saya, saya nggak tau kucing siapa... Tahu-tahu datang sendiri, saya hanya memberi makan." Tapi akhirnya terkuak juga, selang beberapa saat dia kedapatan menggendong kucing yang bisa jadi, yang tadinya tidak dia akui. Dan itu tidak hanya seekor- dua ekor...
Kucing-kucing resmi maupun "ilegal" (karena tak diakui) itu mengganggu kami para tetangganya. Kalau mencuri makanan sih, sejauh ini saya belum pernah mendengar keluhan seperti itu. Begitu pun di rumah saya, tak pernah ada kejadian seperti itu. Alhamdulillah. Saya lihat para tetangga pemiara kucing itu sepertinya rajin, tak pernah telat memberi makan kucing-kucing mereka, baik dengan makanan pabrikan atau gorengan mereka sendiri.
Lantas apa gangguannya? Kotoran dan najisnya! Terus ada lagi yang mengeluh plafon rumah jebol atau genteng geser pokoknya gangguan di atap rumah. Tapi yang utama adalah kotoran dan najisnya itu.
Saya pernah jengkel banget.. Bangun tidur saat hendak ke kamar mandi, buka pintu penghubung bagian belakang rumah, tercium bau yang menyengat... Terpaksa kerja bakti dulu mencari sumber bau menggunakan senter. Rupanya ada yang masuk melalui lantai dua rumah kami yang memang semi terbuka dan turun ke bawah "menandai area" yang dianggap "kekuasaannya" dengan cairannya yang berbau menyengat. Biasanya ini kelakuan kucing jantan.
Kalau sudah begitu terpaksa shalat Subuh tertunda karena saya tidak ingin wudlu batal gara-gara menginjak bagian yang terkena cairan ini. Dan parahnya kadang bukan cuma lantai atau tembok, melainkan juga pintu, galon bahkan baju kotor di tempat cucian kotor!
Kejadian seperti ini terjadi bukan hanya di rumah kami melainkan juga di rumah-rumah lain, rumah para tetangga yang berdekatan. Ada yang lebih sadis dan nyaris akhirnya menjadi hal yang "biasa"... Meja, kursi, teras bahkan kasur menjadi tempat pup binatang itu. Pokoknya yang memiliki area terbuka pasti pernah mengalami gangguan seperti ini. Kalau di talang atau genting rumah, itu sih, biasa...
Pernah salah satu tetangga kami uring-uringan... Gara-garanya sepatu yang akan dipakainya berangkat ke kantor ternyata menjadi tempat kucing buang hajat. Pot bunga pun tak lepas menjadi sasaran mereka melakukan aktivitas pup tersebut. Akibatnya bau menyengat yang tak sedap itu masuk hingga ke dalam rumah.
Bisa dipahami, karena mereka yang memiara hewan-hewan tersebut rumahnya nyaris tidak memiliki area terbuka yang bisa dijadikan tempat buang kotoran kucing-kucing itu. Pasalnya memang ukuran tanah pemukiman kami antara deretan sisi utara dan selatan jalan memiliki ukuran yang berbeda.
Pemukiman kami pada awalnya adalah persawahan yang dikavling dan dijadikan tempat hunian. Kavling sisi utara jalan luasnya kurang lebih dua kali lipat lebih luas daripada sisi selatan. Nah, mereka yang memelihara kucing semuanya menempati sisi selatan.
Saya melihat ada yang mengandangkan kucing-kucing mereka. Tapi mungkin saking cintanya, kandang mereka tidak muat (lagi) karena jumlah kucingnya selalu bertambah. Sudah begitu, kucing adalah hewan yang kemampuan sosialisasinya seperti manusia. Keberadaannya selalu mengundang kucing luar (baca: liar) untuk datang. Dengan alasan tidak tega sang pemilik pun memberi makan teman-teman piaraan mereka. Terus saja begitu..., tapi ketika kucing-kucing itu membuat masalah mereka akan menolak dengan perkataan, "Bukan kucing saya!"
Saking geregetannya sampai saya pernah nyaris saja berkata kasar, "Ya, sudah sekarang buktikan saja kalau kotoran ini bukan kotoran kucingmu." Maksud saya, saya ingin mereka melakukan pembuktian terbalik. Hhh, gemez... rasanya!
Ada juga yang sudah benar-benar pasang badan. Saat diprotes mereka mau mengambil dan membersihkan kotoran-kotoran itu. Katanya, "Ya, gimana lagi saya sudah kadung cinta sama kucing..."
Masalahnya pas kejadian belum tentu dia ada di rumah. Masak kotoran-kotoran dan najis yang mengganggu itu musti dibiarkan menunggu mereka pulang kerja atau pulang saat luar kota? Kalaupun dibersihkan mereka hanya mengambil kotorannya tapi bekasnya tetap pemilik rumah yang harus menyelesaikannya.
Gangguan Simalakama 😄
Playing Victim?
Makanya, saat beberapa waktu lalu di medsos viral tentang perilaku seseorang yang "menyiksa" kucing tetangganya saya hanya diam. Dalam berita itu si pemilik tampil dalam framing sebagai korban. Saya tidak tahu persis bagaimana kejadiannya dan di mana tapi saya berpikir bisa jadi (catat ya, saya bilang: bisa jadi) perilaku orang tersebut dipicu oleh kejadian sebagaimana saya dan para tetangga saya alami atau mungkin lebih parah lagi. Artinya saya bisa paham jika seseorang bisa lepas kontrol gegara gangguan kucing seperti itu. Dan catatannya, kalau saya katakan saya bisa paham bukan berarti saya mendukung.
Tapi jika tidak demikian maka penyiksa binatang itu bisa jadi sedang mengalami "gangguan jiwa".
Siapa Yang Harus Bertanggung Jawab?
Kucing-kucing itu tidak bersalah. La, wong binatang kok, disalahkan. Menurut saya para pengampu atau pemiara kucing itulah yang harus bertanggung jawab atas tingkah polah piaraan mereka. Sebabnya? Ya, sebabnya kucing-kucing itu ada (di tempat sekitar kami) karena upaya para pemiaranya.
Tapi demikianlah hidup bertetangga, susah ya, untuk menjadikan mereka bisa paham seperti harapan kita? Dengan bertambahnya usia, saya jadikan ini sebagai lahan berlatih kesabaran. Sebisanya saya selesaikan masalah ini dengan diam dan berdoa.
Adab Bertetangga
Kadang saya berpikir, orang-orang itu ada yang rasa sayangnya kepada binatang melebihi rasa sayang mereka terhadap sesama manusia. Mereka lebih peduli kepada binatang daripada kepada manusia. Bisa jadi mereka lupa akan sesuatu hal, yaitu dalam kehidupan bertetangga ada sesuatu yang harus dijaga dan dihormati sebagai bagian dari adab bertetangga.
"Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh," (QS. An Nisa; 36).
"Jibril senantiasa berwasiat kepadaku agar memuliakan (berbuat baik) kepada tetangga, sampai-sampai aku mengira seseorang akan menjadi ahli waris tetangganya."
Diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya." (Muttafaq 'alaih).
Abu Syuraih radliyallahu 'anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman". Sahabat bertanya, "Siapa wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yang tetangganya tidak aman dari keburukannya." (HR. Bukhari no. 6016).
Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya. (HR. Muslim no. 46, Ahmad no. 8638, Al Bukhari no. 7818).
Boleh sayang binatang, piara mereka tapi sayangi juga manusia, tetanggamu.
Wallahu 'alam.