Bismillah.
Kalau saya bilang bahwa saya blasteran, percaya enggak? 😃 Saya blasteran! Bener... Ayah saya asli Madura dan Ibu saya asli suku Jawa. Ada yang bilang blasteran Madura dan Jawa itu Mendalungan. Saya tidak paham asal-usul kata Mendalungan tapi, it's OK. Yes, I'm Mendalungan. Hhh...
Tinggal di Surabaya dengan embel-embel Madura tidak semudah yang dibayangkan. Di sekolah sampai saat kuliah kata Madura sering dijadikan bahan olokan. Saya lebih suka menyebutnya olok-olok, bukan bullying. Karena kalau bullying kesannya berat banget meski, sangat bisa dikategorikan ke situ. Tapi saya, alhamdulillah, menerimanya santuy saja, istilah anak-anak sekarang.
Saya tau ada beberapa orang yang mati-matian menyembunyikan DNA mereka sebagai orang Madura atau keturunan Madura. Tapi ini bukan soal rasisme. Sama sekali bukan! Tak pernah terbayangkan di dalam benak saya menempatkan olok-olok itu sebagai bagian dari rasisme. Kalau ingat itu, rasanya kami, orang-orang "dahulu" lebih tahan banting, lebih kuat mental, ya? Atau lebih toleran? Hahaha...
Kata Madura sering dikaitkan dengan kata kemproh, kata orang Surabaya. Kemproh itu jorok. Tapi sumprit, saya tidak pernah tersinggung. Saya tidak bisa menutup mata beberapa perkampungan yang banyak dihuni "saudara-saudara" saya memang cenderung jorok. Tapi saya yakin saya tidak kemproh karena banyak juga orang Madura yang tidak kemproh. Hanya saja banyak orang taunya yang kemproh.
Kata Madura sering dikaitkan dengan kata kemproh, kata orang Surabaya. Kemproh itu jorok. Tapi sumprit, saya tidak pernah tersinggung. Saya tidak bisa menutup mata beberapa perkampungan yang banyak dihuni "saudara-saudara" saya memang cenderung jorok. Tapi saya yakin saya tidak kemproh karena banyak juga orang Madura yang tidak kemproh. Hanya saja banyak orang taunya yang kemproh.
Sadar atau tidak sadar orang cenderung mendedah fokus pada kasus, atau sesuatu yang negatif. Saat menemukan sesuatu yang baik atau wajar, orang tak lagi hirau. Ingat dengan paradigma the bad news is the good news? Sesuatu yang salah tapi itu yang terjadi, right? 😊
Saya punya budhe di Madura, saya memanggilnya budhe No, Allahu yarham. Beuh..., bersihannyaaa minta ampun! Sepreinya tidak kalah dengan seprei hotel yang putih bersih itu. Setiap ada tamu yang menginap beliau selalu siapkan tempat tidur seperti tempat tidur hotel. Seprei baru, sarung bantal-guling selalu baru dan putih! Baru di sini maksudnya baru diambil dari lemari. Dan saat tamunya pulang, semua seprei dan sarung bantal-guling itu beliau cuci. Tidak hanya sarung-nya. Bantal itu beliau "bedhel" (jahitannya dilepas) kapuknya dipisahkan, sarung bagian dalam bantal-gulingnya beliau cuci tanpa ampun!
Kembali ke bahasan para tretan, ya..
Saya punya budhe di Madura, saya memanggilnya budhe No, Allahu yarham. Beuh..., bersihannyaaa minta ampun! Sepreinya tidak kalah dengan seprei hotel yang putih bersih itu. Setiap ada tamu yang menginap beliau selalu siapkan tempat tidur seperti tempat tidur hotel. Seprei baru, sarung bantal-guling selalu baru dan putih! Baru di sini maksudnya baru diambil dari lemari. Dan saat tamunya pulang, semua seprei dan sarung bantal-guling itu beliau cuci. Tidak hanya sarung-nya. Bantal itu beliau "bedhel" (jahitannya dilepas) kapuknya dipisahkan, sarung bagian dalam bantal-gulingnya beliau cuci tanpa ampun!
Kembali ke bahasan para tretan, ya..
Selain itu para tretan itu juga dicap "sak karepe dhewe" alias susah diatur. Dan memang banyak "tretan" (saudara) saya yang demikian. Mudah menemukan fakta yang demikian di sebuah wilayah dengan banyak penduduk yang "sedarah" dengan saya. Bahkan pernah ada kenalan yang mengatakan pada saya, jika memasuki kota-kota di Madura sebagai memasuki "alam lain" karena alasan tersebut. Getir juga, sih, sebenarnya...
Di Surabaya ada sebuah daerah yang mayoritasnya adalah para tretan. Dan saya sendiri sampai heran bagaimana para pengemudi motor di daerah itu banyak yang melanggar peraturan lalu lintas dengan tenang dan penuh percaya diri. Dan yang membuat saya bertambah heran mereka berani melakukan hal itu meski di dekatnya ada kantor polisi. Hhhh..., saya sering menghela nafas panjang saat lewat daerah itu.
Tapi sejauh ini jika saya diolok-olok berkaitan dengan hal itu saya masih bisa tertawa, kadang-kadang lebar, malah! Bukan bangga, tapi lucu... Saya bisa menikmati style mereka. Aneh? Tidak!
Saya bilang tidak karena menurut saya setiap suku pasti punya sisi yang bisa "ditertawakan". Jaman tahun 80 - 90an banyak diterbitkan buku berkaitan dengan hal ini. Biasanya judulnya selalu diawali dengan tiga kata, yaitu mati - ketawa - cara/ala.... Yang terkenal salah satunya adalah Mati Ketawa Cara Madura, tulisan Emha Ainun Najib. Dan memang saya terpingkal-pingkal saat membaca folklor itu.
Saya hanya pernah sekali sakit hati saat diolok-olok sebagai anak orang Madura. Yang mengolok-olok adalah anak teman baik Ibu saya. Kedua orang tuanya orang Jawa. Yang hidup sejaman dengan saya di Surabaya dan tinggal di perkampungan terutama, pasti pernah dengar olok-olok dengan gaya parikan atau pantun: Medura kawuk, matine diengkuk-engkuk. Tau artinya diengkuk-engkuk? Diengkuk itu ditekuk. Diengkuk-engkuk mempunyai makna ditekuk asal-asalan. Sadis, bukan? Saya hanya terdiam tidak bisa membalas karena bapak saya tidak pernah mengajari menghina. Dan lagi yang mengucapkannya adalah anak laki-laki berumur sekitar 8 tahunan saat itu, dia kakak kelas saya. Saya juga percaya dia dapatkan parikan itu bukan dari bapaknya atau ibunya melainkan orang-orang di sekitarnya. Dan yang mengherankan teman baik ibu saya itu, pada saat itu, tinggal di sebuah perkampungan yang banyak dihuni para tretan! Jika tinggal di perkampungan tanpa tretan agak sulit mendengar pantun olok-olok itu. Padahal orang Madura dikenal sebagai orang yang gigih membela harga dirinya, kan, ya? Tapi dengan pantun itu, Surabaya aman-aman saja, bahkan sampai sekarang. Anomali?
Dan keadaan yang membuat saya merasa super aneh dan geli, yaitu saat ada teman atau kenalan yang mengatakan,"Kamu orang Madura? Kok, gak ketara?" Hahaha... Kalau Soimah pasti dia akan lanjutkan tawa itu dengan: terus nek kaya ngene iki, dikon piye, jal? Artinya: Terus, kalau seperti ini kita musti gimana,coba? Hinaan atau pujian? Hahaha... Ikutan Kirana aja, ah.., "It's OK, I like myself."
Yahh, di balik semua olok-olok itu ada yang tak terbantahkan tentang tretan-tretan saya itu. Simak beberapa di antaranya:
Di Surabaya ada sebuah daerah yang mayoritasnya adalah para tretan. Dan saya sendiri sampai heran bagaimana para pengemudi motor di daerah itu banyak yang melanggar peraturan lalu lintas dengan tenang dan penuh percaya diri. Dan yang membuat saya bertambah heran mereka berani melakukan hal itu meski di dekatnya ada kantor polisi. Hhhh..., saya sering menghela nafas panjang saat lewat daerah itu.
Tapi sejauh ini jika saya diolok-olok berkaitan dengan hal itu saya masih bisa tertawa, kadang-kadang lebar, malah! Bukan bangga, tapi lucu... Saya bisa menikmati style mereka. Aneh? Tidak!
Saya bilang tidak karena menurut saya setiap suku pasti punya sisi yang bisa "ditertawakan". Jaman tahun 80 - 90an banyak diterbitkan buku berkaitan dengan hal ini. Biasanya judulnya selalu diawali dengan tiga kata, yaitu mati - ketawa - cara/ala.... Yang terkenal salah satunya adalah Mati Ketawa Cara Madura, tulisan Emha Ainun Najib. Dan memang saya terpingkal-pingkal saat membaca folklor itu.
Saya hanya pernah sekali sakit hati saat diolok-olok sebagai anak orang Madura. Yang mengolok-olok adalah anak teman baik Ibu saya. Kedua orang tuanya orang Jawa. Yang hidup sejaman dengan saya di Surabaya dan tinggal di perkampungan terutama, pasti pernah dengar olok-olok dengan gaya parikan atau pantun: Medura kawuk, matine diengkuk-engkuk. Tau artinya diengkuk-engkuk? Diengkuk itu ditekuk. Diengkuk-engkuk mempunyai makna ditekuk asal-asalan. Sadis, bukan? Saya hanya terdiam tidak bisa membalas karena bapak saya tidak pernah mengajari menghina. Dan lagi yang mengucapkannya adalah anak laki-laki berumur sekitar 8 tahunan saat itu, dia kakak kelas saya. Saya juga percaya dia dapatkan parikan itu bukan dari bapaknya atau ibunya melainkan orang-orang di sekitarnya. Dan yang mengherankan teman baik ibu saya itu, pada saat itu, tinggal di sebuah perkampungan yang banyak dihuni para tretan! Jika tinggal di perkampungan tanpa tretan agak sulit mendengar pantun olok-olok itu. Padahal orang Madura dikenal sebagai orang yang gigih membela harga dirinya, kan, ya? Tapi dengan pantun itu, Surabaya aman-aman saja, bahkan sampai sekarang. Anomali?
Dan keadaan yang membuat saya merasa super aneh dan geli, yaitu saat ada teman atau kenalan yang mengatakan,"Kamu orang Madura? Kok, gak ketara?" Hahaha... Kalau Soimah pasti dia akan lanjutkan tawa itu dengan: terus nek kaya ngene iki, dikon piye, jal? Artinya: Terus, kalau seperti ini kita musti gimana,coba? Hinaan atau pujian? Hahaha... Ikutan Kirana aja, ah.., "It's OK, I like myself."
Yahh, di balik semua olok-olok itu ada yang tak terbantahkan tentang tretan-tretan saya itu. Simak beberapa di antaranya:
1. Ulet dan Kreatif
Saat bertemu dengan tretan yang naik becak atau motor sambil teriak, "Mbeng, rombeeng..." saya seperti diingatkan tentang keuletan mereka dan kreatifitas mereka. Saya nyaris yakin bahwa profesi atau bisnis ini adalah salah satu bisnis startup khas mereka. 😃. Saya bilang salah satu karena masih ada salah dua-nya.Terbayang gak sih, bagaimana mereka bisa punya ide untuk memulung barang-barang rongsokan, bahkan kadang yang sudah sering dianggap sampah? Dari mengumpulkannya lalu mengolahnya dan membangun mata rantainya sehingga mereka bisa terhubung dengan entitas bisnis yang skalanya lebih besar? Dari mana ide itu, padahal para tretan itu memulai bisnis mereka tanpa bekal ijasah yang memadai?
Ada cerita tentang ini. Bukan tentang sosok Haji Sukri yang sudah tersohor sejarah kehidupannya. Ini yang mirip-mirip dengan beliau tapi saya bisa menuliskannya di sini berkaitan dengan membangun mata rantai itu.
Awalnya seorang tretan memulung barang-barang rongsokan rumahan, berkeiling dari kampung ke kampung. Lambat laun tretan tersebut bisa masuk pabrik, entah bagaimana caranya, sehingga mendapatkan barang-barang rongsokan dari pabrik. Tidak besar, sekedar bisa dibawa dengan sepeda ontel sampai akhirnya secara perlahan dengan alat angkut yang lebih besar hingga akhirnya truk. Dan tidak hanya itu keadaan pun akhirnya berbalik, pabrik membayar mereka untuk membuang limbah mereka. Deal! Akhirnya sang tretan pun hidup sejahtera bersama keluarga dan sanak-saudaranya. Hahaha...
2. Selalu Optimis dan Bisa Membuat Orang Gembira
Seberat apa pun mereka memulai dan menjalani kehidupan mereka, nyaris tidak pernah nampak ekspresi melankolis atau dramatis pada wajah-wajah mereka. Saya selalu mendapati mereka dengan wajah optimis. Sepertinya mereka memandang kerasnya kehidupan itu sebagai sesuatu yang biasa. Jika diungkapkan dalam bahasa Jawa, "Urip iku yo, wis, ngene iki. Titik." Artinya, hidup itu ya, begini. Titik.Dari situ mungkin, ya, mereka bisa menjalani kehidupan tanpa drama. Mereka jalani kehidupan ini dengan logika yang sederhana dan cenderung pragmatis. Seperti ini misalnya, ini pengalaman saya sendiri. Saat itu saya sedang belanja di sebuah toko konveksi. Selesai berbelanja saya dengan diantar adik laki-laki menuju parkiran. Dari parkiran datanglah seorang tretan yang menjaga parkir. Saya berikan ongkos parkir sebagaimana biasanya yang berlaku saat itu. Untuk "mendidik" mereka supaya "profesional" saya minta karcis.
"Endi karcise?" tanya saya dalam bahasa Jawa. Artinya: mana karcisnya? Disodorkannya sebuah kertas kumal setelah sebelumnya disobek dari bundelannya.
Saat saya lihat angka yang tertera di situ lebih rendah dari uang yang saya serahkan, saya pun protes, "Lo, iki lo, cumak sakmene, sampeyan kok njaluk sakmono?" = Lo, ini cuma segitu Anda kok, meminta lebih?
Tau apa jawabnya? Hahaha..., saya tertawa mendengarnya.
"Sampeyan rabi karo bojo sampeyan apa gak pengin duwe anak?" Artinya: Anda menikah dengan suami Anda apa tidak ingin mendapat anak? Hahaha....
Dulu saya pernah bertetangga dengan seorang tretan. Masih muda dan perempuan. Usianya saat itu mungkin 12 atau 13 tahun. Sepertinya begitu... Dia nekat merantau ke Surabaya dan tinggal bersama saudaranya yang bekerja sebagai petugas kebersihan sekolah, tetangga saya. Kalau sudah seperti ini, tanpa diberitau pun saya sudah tau kalau Misra, begitu namanya, tidak bersekolah.
Saya dan kakak saya yang saat itu masih SD sering terheran-heran melihat Misra makan hanya dengan berlaukkan ikan pindang kecil satu ekor. Nasinya banyak dan...pindangnya itu cuma dikukus atau direbus. Begitu setiap hari. Dan tau apa pekerjaan Misra? Buruh "nyungun"! Nyungun itu menyunggi barang yang diletakkan di atas kepala.
"Endi karcise?" tanya saya dalam bahasa Jawa. Artinya: mana karcisnya? Disodorkannya sebuah kertas kumal setelah sebelumnya disobek dari bundelannya.
Saat saya lihat angka yang tertera di situ lebih rendah dari uang yang saya serahkan, saya pun protes, "Lo, iki lo, cumak sakmene, sampeyan kok njaluk sakmono?" = Lo, ini cuma segitu Anda kok, meminta lebih?
Tau apa jawabnya? Hahaha..., saya tertawa mendengarnya.
"Sampeyan rabi karo bojo sampeyan apa gak pengin duwe anak?" Artinya: Anda menikah dengan suami Anda apa tidak ingin mendapat anak? Hahaha....
3. Fokus dalam Mengejar Target
Para tretan itu jika bekerja selalu fokus. Jika mereka sudah menemukan "passion" mereka maka mereka akan fokus apa pun keadaannya dan atau seberapa pun beratnya dalam melakoninya.Dulu saya pernah bertetangga dengan seorang tretan. Masih muda dan perempuan. Usianya saat itu mungkin 12 atau 13 tahun. Sepertinya begitu... Dia nekat merantau ke Surabaya dan tinggal bersama saudaranya yang bekerja sebagai petugas kebersihan sekolah, tetangga saya. Kalau sudah seperti ini, tanpa diberitau pun saya sudah tau kalau Misra, begitu namanya, tidak bersekolah.
Saya dan kakak saya yang saat itu masih SD sering terheran-heran melihat Misra makan hanya dengan berlaukkan ikan pindang kecil satu ekor. Nasinya banyak dan...pindangnya itu cuma dikukus atau direbus. Begitu setiap hari. Dan tau apa pekerjaan Misra? Buruh "nyungun"! Nyungun itu menyunggi barang yang diletakkan di atas kepala.
Setiap pagi dia ke pasar mencari upah dengan membawakan barang belanjaan pembeli dengan "nyungun". Meski berat saya tidak pernah melihat Misra dengan wajah memelas minta dikasihani. Ya, mungkin dia menganggap pekerjaan kasar bukan derita. Subhanallah...
Tau apa cita-cita tertinggi para tretan itu? Jawabnya: naik haji! Saya musti bilang apa, ya, tentang ini? Begini... Para tretan itu jika dibilang religius dalam artian bangga dengan agamanya, Islam dan selalu siap membela, itu benar. Tapi, ada tapinya... Meski begitu mereka belum tentu menjalankan syariatnya dengan penuh. Ini yang sering membuat saya prihatin sebagai tretan mereka. Mereka mungkin dalam keseharian tidak menjalankan sholat, atau kalaupun sholat juga, masih bolong-bolong. Tapi cita-cita mereka tertinggi tetap rukun Islam ke lima, yaitu naik haji. Untuk meraih ini mereka rela berhemat-hemat, tinggal di gerobak dan bahkan tidur di emperan toko.
Waktu kecil, ini masih pengalaman saat saya usia sekolah dasar. Bapak saya seorang perokok. Dan kalau merokok pakai pipa atau cangklong. Orang Jawa menyebutnya once. Karenanya Bapak saya sempat disebut pak Once saat pindah di hunian baru.
Merokok menggunakan pipa, Bapak menggunakan tembakau khusus. Saya ingat wadahnya adalah kaleng persegi bergambar nanas. Kalengnya tidak besar, sekitar 5cm x 8cm, seingat saya segitu. Jika dipegang, kalau saya bilang, bentuknya lebih mirip irisan dendeng yang manis dan lengket. Baunya khas, tidak seperti bau tembakau. Harum, tapi bukan harum bunga. Gambarnya nanas tapi bukan juga harum nanas baunya. Entah apa, saya sulit menjelaskannya. Belakangan saya tau jika itu produk impor. Tapi pada waktu itu produk impor tidak semahal sekarang, sepertinya. Nah, penjual langganan Bapak itu seorang pedagang rokok yang menempati emperan apotek Simpang lonceng (seberang hotel Grand Inna, jl. Gubernur Suryo kalau sekarang). Selain rokok dia juga menjual tembakau kalengan itu. Dan jualannya itu di gerobak kecil yang bisa didorong-dorong untuk memindahkannya. Tahun-tahun itu, sekitar tahun 70an, di Surabaya khas sekali bentuk gerobak para tretan penjual rokok itu. Ya, mereka hanya menjual rokok.
Pada suatu saat tretan penjual rokok itu bilang pada Bapak mau pinjam sepatu. "Mau ke mana?" tanya Bapak saya heran.
"Ka bherek, Pak guru," jawabnya. Ma sya Allah... Jadi tretan penjual rokok itu bilang mau "ke barat" maksudnya akan berangkat haji!
Lokasi RS. PKU Muhammadiyah di jalan KH. Mas Mansyur, sekitar masjid Ampel Surabaya. Dan itu daerah tempat para tretan saya berdomisili selain juga para keturunan Arab. Ampel itu dibilang kampung Arab, jelas kampung Arab. Tapi di situ juga banyak tretan saya bermukim.
Ada keunikan tersendiri di rumah sakit kecil tipe D ini yang tidak bisa ditemui di rumah sakit sejenis kecuali di rumah sakit tetangganya, yang juga berlokasi di jalan yang sama, yaitu RS. Al Irsyad. Saat Anda memasuki rumah sakit untuk mengunjungi pasien terutama pada sore hari, mendekati maghrib hingga malam hari, jangan kaget jika menemukan banyak orang duduk di bawah membentuk kalangan seperti orang jagongan. Jagongan adalah budaya orang Jawa berkumpul sesama mereka, berbincang, kadang bersenda gurau sembari menikmati hidangan kecil. Orang Madura memiliki kesamaan dengan orang Jawa dalam hal ini dan para tretan melakukannya tidak hanya di rumah melainkan juga di rumah sakit saat menunggui keluarga atau kerabat yang sedang rawat inap di situ. Sampai-sampai untuk itu pihak rumah sakit memasang poster pemberitauan dalam bahasa Madura untuk mengingatkan bahwa yang boleh menjaga di dalam hanya dua orang. Alhamdulillah, sekarang mereka lebih tertib, sehingga pasien bisa istirahat dengan baik.
Memang demikianlah para tretan saya. Mereka sangat guyub, terlebih-lebih jika ada keluarga yang sedang mengalami musibah entah sakit, atau lainnya. Saya ingat dulu Bapak saya sering memimpin "rapat keluarga" bersama adik-adik dan saudara-saudaranya dalam menyelesaikan masalah keluarga. Dan saat Bapak saya sakit keras hingga wafat beliau -- Allahu yarham -- keluarga kami baik yang dari Madura maupun yang berdomisili di Surabaya silih berganti ke rumah menengok Bapak dan menemani kami. Tidak hanya adik-adik kandung, melainkan saudara yang jauh pun berdatangan. Mereka getok tular mengabarkan hal ini dan secara ajeg ke rumah, tidak hanya sekali hanya untuk sekedar menggugurkan kewajiban. Di sela-sela pekerjaan mereka yang rata-rata PNS atau ASN, istilah saat ini, mereka membagi jadual kunjungan. Padahal saat itu transportasi tidak semudah sekarang. Jembatan Suramadu belum ada. Mereka benar-benar menemani dan menghibur kami dengan kehadiran mereka. Para tetangga kami sampai heran menyaksikan hal ini karena rumah kami jadi seperti rumah orang yang punya hajatan.
Tau apa cita-cita tertinggi para tretan itu? Jawabnya: naik haji! Saya musti bilang apa, ya, tentang ini? Begini... Para tretan itu jika dibilang religius dalam artian bangga dengan agamanya, Islam dan selalu siap membela, itu benar. Tapi, ada tapinya... Meski begitu mereka belum tentu menjalankan syariatnya dengan penuh. Ini yang sering membuat saya prihatin sebagai tretan mereka. Mereka mungkin dalam keseharian tidak menjalankan sholat, atau kalaupun sholat juga, masih bolong-bolong. Tapi cita-cita mereka tertinggi tetap rukun Islam ke lima, yaitu naik haji. Untuk meraih ini mereka rela berhemat-hemat, tinggal di gerobak dan bahkan tidur di emperan toko.
Waktu kecil, ini masih pengalaman saat saya usia sekolah dasar. Bapak saya seorang perokok. Dan kalau merokok pakai pipa atau cangklong. Orang Jawa menyebutnya once. Karenanya Bapak saya sempat disebut pak Once saat pindah di hunian baru.
Merokok menggunakan pipa, Bapak menggunakan tembakau khusus. Saya ingat wadahnya adalah kaleng persegi bergambar nanas. Kalengnya tidak besar, sekitar 5cm x 8cm, seingat saya segitu. Jika dipegang, kalau saya bilang, bentuknya lebih mirip irisan dendeng yang manis dan lengket. Baunya khas, tidak seperti bau tembakau. Harum, tapi bukan harum bunga. Gambarnya nanas tapi bukan juga harum nanas baunya. Entah apa, saya sulit menjelaskannya. Belakangan saya tau jika itu produk impor. Tapi pada waktu itu produk impor tidak semahal sekarang, sepertinya. Nah, penjual langganan Bapak itu seorang pedagang rokok yang menempati emperan apotek Simpang lonceng (seberang hotel Grand Inna, jl. Gubernur Suryo kalau sekarang). Selain rokok dia juga menjual tembakau kalengan itu. Dan jualannya itu di gerobak kecil yang bisa didorong-dorong untuk memindahkannya. Tahun-tahun itu, sekitar tahun 70an, di Surabaya khas sekali bentuk gerobak para tretan penjual rokok itu. Ya, mereka hanya menjual rokok.
Pada suatu saat tretan penjual rokok itu bilang pada Bapak mau pinjam sepatu. "Mau ke mana?" tanya Bapak saya heran.
"Ka bherek, Pak guru," jawabnya. Ma sya Allah... Jadi tretan penjual rokok itu bilang mau "ke barat" maksudnya akan berangkat haji!
4. Persaudaraan Mereka Kuat
Pada kali yang ke berapa, entah saya lupa... Kejadiannya sekitar 4 bulan lalu. Ibu harus opname. Untuk mempermudah, dokter yang menangani beliau menyarankan agar opname di RS. Muhammadiyah. Beliau praktek juga di situ. Kalau musti opname di rumah sakit tempat Ibu periksa, dipastikan antreenya luaamaa...untuk dapatkan kamar.Lokasi RS. PKU Muhammadiyah di jalan KH. Mas Mansyur, sekitar masjid Ampel Surabaya. Dan itu daerah tempat para tretan saya berdomisili selain juga para keturunan Arab. Ampel itu dibilang kampung Arab, jelas kampung Arab. Tapi di situ juga banyak tretan saya bermukim.
Ada keunikan tersendiri di rumah sakit kecil tipe D ini yang tidak bisa ditemui di rumah sakit sejenis kecuali di rumah sakit tetangganya, yang juga berlokasi di jalan yang sama, yaitu RS. Al Irsyad. Saat Anda memasuki rumah sakit untuk mengunjungi pasien terutama pada sore hari, mendekati maghrib hingga malam hari, jangan kaget jika menemukan banyak orang duduk di bawah membentuk kalangan seperti orang jagongan. Jagongan adalah budaya orang Jawa berkumpul sesama mereka, berbincang, kadang bersenda gurau sembari menikmati hidangan kecil. Orang Madura memiliki kesamaan dengan orang Jawa dalam hal ini dan para tretan melakukannya tidak hanya di rumah melainkan juga di rumah sakit saat menunggui keluarga atau kerabat yang sedang rawat inap di situ. Sampai-sampai untuk itu pihak rumah sakit memasang poster pemberitauan dalam bahasa Madura untuk mengingatkan bahwa yang boleh menjaga di dalam hanya dua orang. Alhamdulillah, sekarang mereka lebih tertib, sehingga pasien bisa istirahat dengan baik.
Memang demikianlah para tretan saya. Mereka sangat guyub, terlebih-lebih jika ada keluarga yang sedang mengalami musibah entah sakit, atau lainnya. Saya ingat dulu Bapak saya sering memimpin "rapat keluarga" bersama adik-adik dan saudara-saudaranya dalam menyelesaikan masalah keluarga. Dan saat Bapak saya sakit keras hingga wafat beliau -- Allahu yarham -- keluarga kami baik yang dari Madura maupun yang berdomisili di Surabaya silih berganti ke rumah menengok Bapak dan menemani kami. Tidak hanya adik-adik kandung, melainkan saudara yang jauh pun berdatangan. Mereka getok tular mengabarkan hal ini dan secara ajeg ke rumah, tidak hanya sekali hanya untuk sekedar menggugurkan kewajiban. Di sela-sela pekerjaan mereka yang rata-rata PNS atau ASN, istilah saat ini, mereka membagi jadual kunjungan. Padahal saat itu transportasi tidak semudah sekarang. Jembatan Suramadu belum ada. Mereka benar-benar menemani dan menghibur kami dengan kehadiran mereka. Para tetangga kami sampai heran menyaksikan hal ini karena rumah kami jadi seperti rumah orang yang punya hajatan.
5. Memuliakan Tamu
Para tretan itu sangat senang dikunjungi. Untuk ini mereka tidak mengenal repot dalam menjamu tamu. Saya ingat ucapan Om saya, Allahu yarham, "Orang Madura itu kalau buat tamu, mereka rela kaki mereka jadi kepala dan kepala mereka jadi kaki. Meski untuk itu harus berhutang, mereka rela."Dan memang demikianlah yang saya temui saat berkunjung ke sanak saudara di Madura. Apalagi bila kita bertamu ke daerah yang pelosok. Keramahan khas mereka, bisa menyentuh hati. Saya menemui mereka sebagai sosok-sosok yang tidak mempunyai syak wasangka sama sekali. Dengan polos dan takzhim mereka menerima tetamu mereka.
Jadi kangen saya pengin ke sana...
Duh, itulah kisah saya tentang para tretan saya. Masih banyak sih, sebenarnya yang bisa ditulis tapi saya cukupkan 6 saja. Saya bersukur, berada di lingkungan berbeda dengan menjadi bagian dari mereka yang berbeda.
6. Masakannya Enak dan Unik
Ada yang belum kenal nasi Madura? Hmm, saiang... Kuliner khas Madura yang terkenal selain sate Madura atau Soto Madura adalah Nasi Madura. Penjual nasi Madura adakalanya mengenalkan menunya sebagai nasi cumi atau nasi babat.
Saya punya kakak sepupu, orang Jawa, yang kalau ke Surabaya incarannya adalah nasi ini. Dan dia bisa habis 2 porsi sekali makan. Ya, jauh-jauh dari Jakarta, tempat tinggalnya, dia tak pernah melewatkan kuliner ini saat perjalanan dinasnya ke Surabaya. Langganannya adalah yang berada di jalan Waspada, sebelah Utara Pasar Atom Surabaya.
Apa yang Anda bayangkan tentang penjual nasi yang cukup populer ini? Sebuah resto, depot? No, no, no...! But 5 feet! Hahaha, kaki lima, maksud saya. Kalau mau menikmati nasi Madura di depot atau resto ada, juga, sih... Tapi biasanya kalau di Surabaya yang terkenal itu yang kaki lima. Di jalan KH. Mas Mansyur dan sekitarnya, dekat masjid Ampel Surabaya, beberapa depot yang menyajikan menu masakan Arab menjadikan nasi Madura sebagai menu pendamping.
Masakan Madura unik dan enak, dalam beberapa hal mirip-mirip masakan Cina dalam artian sederhana, tidak ribet tapi enak. Sederhana artinya bumbu yang digunakan tidak complicated. Rerempahannya tidak rumit seperti masakan daerah lain. Ambil contoh menu populer Soto Daging Madura. Soto berbahan dasar daging sapi yang sulit didapatkan di daerahnya sendiri (Madura) ini bumbunya lebih sederhana daripada soto daging versi Jawa.
Seorang ASN menyunggi kerupuk Tangguk pada suatu acara. |
Untuk yang unik kita bisa temukan kerupuk Tangguk di Pamekasan. Kerupuk berbahan dasar tepung singkong ini dikenal dengan ukurannya yang raksasa.
Awalnya kerupuk ini dibawa para petani ke ladang atau sawah mereka sebagai teman bekal makan siang. Seiring dengan berjalannya waktu kerupuk ini akhirnya menggantikan fungsi caping yang mereka kenakan sebagai pelindung kepala. Jadilah kerupuk ini bernama kerupuk Tangguk. Tangguk dalam bahasa Madura artinya caping.
Duh, itulah kisah saya tentang para tretan saya. Masih banyak sih, sebenarnya yang bisa ditulis tapi saya cukupkan 6 saja. Saya bersukur, berada di lingkungan berbeda dengan menjadi bagian dari mereka yang berbeda.
Ya, saya bersukur dengan takdirNya sebagai keturunan Madura di lingkungan mayoritas orang Jawa. Saya jadi bisa melihat sudut pandang yang berbeda namun indah dalam menjalani kehidupan di dalamnya. Bagaimana pun tentang takdir ini, kita semua tidak ada yang bisa memilih. Siapa yang bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa, suku apa?
Sumber kerupuk Tangguk dari www.kerupuktangguk.blogspot.com
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu, Maha Mengenal." Q.S Al Hujurat (49); 13.
Sumber kerupuk Tangguk dari www.kerupuktangguk.blogspot.com