- Photo by Sarah Brown on Unsplash, Text taken from Canva |
Bismillah.
Di rumah saja, ngapain? Di rumah saja karena Covid 19 merupakan sesuatu yang berbeda, yang sepertinya banyak orang akan menjadikan pengalaman dalam menjalaninya sebagai sesuatu yang menyejarah. Berbicara tentang pengalaman hidup yang menyejarah mengingatkan saya pada nenek buyut saya. Bagi nenek buyut saya, pengalaman yang menyejarah dalam hidup beliau adalah saat gunung Krakatau meletus. Beliau bercerita, pada saat gunung Krakatau meletus usia beliau masih "perawan cilik". Dan cerita itu menjadi patokan tahun kelahiran beliau. Jadi saat nenek buyut saya meninggal banyak anggota keluarga yang menyimpulkan beliau meninggal pada usia 100 tahun. Nenek buyut saya meninggal pada tahun 1973.
Nah, kalau kita semua sepertinya masa pandemi Covid 19 ini akan menjadi cerita wajib bagi anak-cucu bahkan cicit kelak... In sya Allah. 😃
Pandemi ini memang sukses mengubah hari-hari biasa menjadi hari-hari yang "spesial", yang tidak biasa. Karenanya yang pada hari-hari biasa, sebelum pandemi, adalah sesuatu yang lewat begitu saja, pada hari-hari ini bisa diangkat menjadi topik tulisan. Salah satunya adalah yang saya akan tuliskan.
Panjangnya masa karantina membuat banyak dari kita terdorong melakukan sesuatu yang berbeda agar bisa melewati hari-hari dengan semangat. Seperti melewati lorong panjang dan tak berujung..., membosankan bahkan bisa bikin stres jika tidak ada yang bisa kita lakukan untuk merintang-rintang waktu. Mau ke mana juga gak bisa. Yah, di rumah saja, mau ngapain?
Buat saya, masa di rumah karena pandemi ini adalah masa untuk memperbaiki keagamaan saya. Titik fokusnya adalah husnuzhan, prasangka baik kepada Allah. Jadi andai harus masuk dan matched dengan kata keterampilan, saya menyebutnya keterampilan husnuzhan. Hmm, bisa,kan?
Mengetahui penyebaran Covid 19 membuat saya seperti memasuki jalan buntu. Sementara di luar, berita tentang pertambahan kasusnya tidak hanya bertambah, melainkan melonjak! Dan ini tidak hanya di negara kita yang "maju"nya baru saja. Negara-negara belahan Eropa dan Amerika yang majunya sudah lama saja juga nampak kepayahan. Semakin tau tentang cara penyebarannya membuat saya semakin seperti menatap tembok yang telah membuntu jalan. Saya seperti tidak menemukan jalan keluar. Rasanya seperti sesak, sempit tidak ada harapan. Tapi kemudian saya ingat bahwa Allah Maha Pelindung, Maha berkuasa. Dan Dia berbuat sesuai sangka-sangka hambaNya.
"Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu." (Muttafaqun 'alaih). Hadist ini mengajarkan bagaimana seorang muslim harus husnuzhon kepada Allah dan memiliki sikap roja' (harap) padaNya.
Mengenai makna hadits di atas Al Qadhi 'Iyadh berkata, "Sebagian ulama mengatakan bahwa maknanya adalah Allah akan memberi ampunan jika hamba meminta ampunan. Allah akan menerima taubat jika hamba bertaubat. Allah akan mengabulkan do'a jika Allah meminta. Allah akan memberi kecukupan jika hamba meminta kecukupan. Ulama lainnya berkata bahwa maknanya adalah berharap pada Allah (roja) dan meminta ampunanNya." (Syarh Muslim, 17;2)
Karena itu setiap hari saya melatih pikiran untuk mengingat hal itu. Saat stres, saya selalu coba lawan dengan pikiran positif yaitu husnuzhon kepada Allah. Ada banyak doa dan dzikir, salah satunya adalah berikut di bawah ini.
Dari Ustman bin Affan rodliyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullahi 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang hamba mengucapkan setiap pagi pada setiap harinya, dan setiap petang pada dari setiap malamnya kalimat bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihi syai-un fil ardli wa laa fis samaa' wa huwas samii'ul 'aliim (dengan nama Allah yang dengan namaNya tidak ada sesuatupun yang membahayakan di bumi dan tidak juga di langit, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui) sebanyak tiga kali maka tidak akan ada apa pun yang membahayakannya. HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih). [HR. Abu Daud, no. 5088, Tirmidzi, no. 3388; Ibnu Majah, no. 3388. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
Sejak awal tahun ini saya mengikuti akun Dr. Zaidul Akbar di instagram. Akun yang banyak mengulas rerimpangan dan rerempahan ini menarik perhatian saya. Saya jadi teringat mbah putri, ibu dari ibu saya yang piawai meracik jamu. Semasa kecil saya, saat liburan di Madiun setiap pagi, kami semua para cucu selalu antre untuk mendapat cekokan jamu daun pepaya dan entah daun atau rimpang apa yang ditambahkan. Rasanya jelas pahit tapi kami para cucu tidak bisa menolak.
Ibu saya pernah bercerita pada saat jaman penjajahan Jepang banyak warga kampung di tempat ibu saya tinggal, yang terkena wabah cacar nanah. Sampai-sampai putra tetangga sebelah rumah yang usianya sepantaran ibu ada yang tidur di bawah lantai tanah. Bukan lantai tanah biasa melainkan tanah yang digali dan dialasi daun pisang karena sekujur tubuhnya lengket jika tidur di tikar. Keadaan sebaliknya dialami ibu saya yang 11 bersaudara. Putra-putri mbah kakung dan mbah putri semua sehat tidak ada yang tertular. Mungkin karena rutin minum jamu itu menjadi penyebabnya. Mbah putri mendapatkan keterampilan itu dari ibunya, saya memanggilnya mbah yut (mbah buyut).
Karena itu selama di rumah saya semakin rajin mengulik akun Dr. Zaidul Akbar untuk pelajari cara membuat dan manfaat jamu rerimpangan dan rerempahan. Selesai baca dan paham biasanya saya praktikkan membuatnya. Bahan-bahannya untuk rerimpangan terdiri dari kunyit, jahe, serai yang saya tambahi pandan. Kadang ada request tambahan lemon. Kadang temu lawak saya juga masukkan tapi yang lain menolak karena takut gemuk! Hahaha... Temu lawak memang bisa meningkatkan nafsu makan. Untuk rerempahan saya pakai bunga lawang, cengkeh, ketumbar, kapulaga dan kayu manis. Sejak ramai Covid saya rutinkan setiap hari membuat jamu. Alhamdulillah, meski ada yang rewel tetap habis jamu yang saya buat. Untuk yang balita saya khususkan perasan kunyit yang diparut, diendapkan, diambil bagian jernihnya saja dan tambahkan madu. Alhamdulillah cucu saya suka. Tapi kalau yang untuk cucu ini saya selang-seling harinya.
Bagaimana dengan kalian? 😊
Sumber: www.rumaysho.com