Seru Saat Cucu Belajar Puasa

By Yuniar Djafar - April 28, 2020


- Design taken from Canva -


Bismillah.

Siang itu setoran tulisan belum selesai. Saya masih mengetik di ruang makan. Saya tidak pernah punya meja kerja di rumah. Jadi meja makanlah  yang saya jadikan meja kerja. 😃. Seperti biasa bocah perempuan berusia 2 tahun 5 bulan itu mendatangi saya saat tau saya di belakang meja makan. Sering kali begitu. Sembari menggendong sebuah boneka (boneka tangan sebenarnya tapi dia menggunakannya seperti boneka biasa) yang bernama Shalihah, demikian kami memanggilnya, dia mendekat.

"Geni, geni ahihah sakit," katanya.

"Wah, sakit?!" sahut saya pura-pura terkejut.

Pemilik mata bulat itu mengangguk. Lalu ditidurkannya Shalihah di bawah meja makan, tempat saya mengetik. Tubuhnya diletakkan di atas tas mainan dokter cilik yang "perlengkapan medis"nya sudah ambyar tidak jelas juntrungannya. 

"Sudah diperiksa, sakit apa Shalihah," tanya saya kemudian sembari melanjutkan ketikan.

Sejurus kemudian saat melihatnya, Shalihah ternyata telah berselimut kertas bekas belajar mewarna miliknya. "Panas!," bocah itu menjawab.

Hmm, akhirnya terulang lagi seperti yang dilakukannya setiap hari. Jari tangan saya ditariknya. "Ayo, Geni...," ujarnya sembari menguatkan tarikannya pada jari saya.

"Sebentar, sebentar, ya...," buru-buru saya matikan laptop. Hmm, alamat, ni, tertunda lagi pengetikan. Entah sore atau malam, saya baru bisa lanjut untuk menyelesaikannya, saya tidak tau. Kalau sudah begini biasanya saya diajaknya untuk ambil "mobil ambulan" lalu kadang-kadang saya akan jadi pasiennya, kadang-kadang asistennya, kadang keluarga pasien... Pokoknya semau dia... Hahaha... Tapi sejujurnya saya senang meski kadang dia menjorokkan tubuh saya saat pergantian peran itu. Dan mobil ambulan itu adalah alat belajar berjalannya saat masih berumur setahun. Hahaha.... 😄

Ternyata benar saya dibawa ke "rumah sakit". Tidak jauh letaknya dari tempat saya mengetik. Hanya berjarak kurang-lebih 8 meter. Karena itu jalan kaki sudah cukup. 😄 
Menuju "rumah sakit" kami melewati dapur. Di dapur, ibunya sedang sibuk menggiling adonan tepung untuk membuat kulit siomay. 

Di ruang tengah, nenek buyutnya tampak sedang melipat cucian yang telah kering. Dalam usianya yang sudah memasuki kepala 8--alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmushshalihah--ibu saya masih aktif berkegiatan. 

Sampailah kami di "rumah sakit". Ruangan berukuran 3m x 4m itu masih menyisakan kekosongan di belakang pintu masuk hingga 2m. Persis di utara lemari pakaian kami mempersiapkan tempat perawatan. Maka guling kecil, bantal kepala miliknya saat bayi, botol hair lotion, bedak talk dan beberapa botol lainnya diletakkan berjajar. "Tamin," katanya. Maksudnya vitamin. Di situlah "rumah sakit" kami bangun, di ruang tidur bagian depan. 

Nyaris adegan tanpa skenario itu berulang setiap hari. Saya tidak pernah tega untuk menolak permintaannya. Karenanya sejak Ramadhan ini bertepatan dengan niat saya untuk memperbaiki diri, mengikuti sunnah Rasulullah agar tidak tidur setelah shalat Subuh, saya "mencuri kesempatan" untuk mencicil ketikan. Sebab biasanya kalau sudah bangun bocah kecil itu akan mengajak bermain. 


Design taken from Canva


Dan hari ini adalah hari ke tiga untuknya belajar puasa. Puasa bedhug, puasa setengah hari. Jadi saat kami sahur diapun ikut sahur. Jika dia bangun, adiknya yang berumur 9 bulan pun ikut bangun. Setelah selesai makan sahur ibunya akan menyalakan youtube di televisi, kalau bukan video murottal anak terlebih dahulu ya, video anak-anak semacam baby bus, choco melon dan yang semacam itulah. Jelang adzan Subuh seluruh rumah mengingatkannya untuk minum dan minum. Pada hari pertama puasa badannya agak panas tapi bukan panas karena flu atau semacamnya. Tapi dia tetap aktif seperti biasa. Dugaan saya karena masih benar-benar baru mengenal puasa maka kemungkinan tubuhnya beradaptasi dan agak mengalami dehidrasi. Tapi sukurlah pada hari ke dua hal itu tidak terjadi lagi. Sebagai nenek saya hanya melihat ibunya. Jika saya lihat ibunya "tatag", bahasa jawa, artinya tegar dan percaya diri maka saya akan mendukung. Tapi jika ragu-ragu saya akan sebaliknya.

Titik kritis puasanya adalah pada pukul 10 - 11 wib. Mungkin dia lapar karena biasanya ada saja yang dilahap atau diminumnya pada jam-jam segitu. Biasanya seluruh tim akan bersatu menyiapkan kegiatan untuknya agar perhatiannya teralihkan. Menggambar, mewarnai, nonton youtube anak-anak, bercerita adalah pilihannya.Kadang juga melipat kertas. Ya, untuk merintang-rintang waktu menunggu adzan Dhuhur. Dan tim itu adalah 3 orang bibinya yang kompak bersama ibunya. Kalau sudah begitu pamannya, turun tangan menangani adiknya, bayi berusia 9 bulan. Bersukur Allah menyatukan hati kami untuk kompak, saling menguatkan dan membantu. Kalau mereka semua sudah turun tangan maka saya bisa melanjutkan buka laptop. 😊

Saat berbuka, nyaris seisi rumah mengucapkan selamat, memujinya dengan berbagai macam ucapan. "Alhamdulillah, kakak sudah buka puasa... Wih, pinter rek, kakak kuat puasa..." semacam itulah yang kami sampaikan. Seperti biasanya ibunya sudah siap dengan makanan yang fresh untuknya. Nah, batas akhir buka puasa pertama adalah pukul 13. Siang tadi saya membuatkan nabish--air rendaman kurma. Kurmanya saya hancurkan pakai sendok dan saya aduk. Tujuaannya agar dia bisa lebih kuat sampai buka puasa maghrib nanti. 

Ada kejadian lucu tadi siang. Pukul 10 dia menghampiri saya. Tangannya menyodorkan biskuit yang masih utuh dalam kemasan. "Geni, toyong buka," katanya. Saya sadar, ini belum waktunya "buka". Maka saya bilang,"Geni gak berani, minta tolong ibu saja." 

Jawabannya membuat saya tak bisa menahan tawa. Dengan suaranya yang kadang jelas, kadang tak jelas--gak teteh, bahasa jawanya dia bilang, " Nti lo mmmlang ibu, pasa, pasa, pasa, gitu..." 😄😄😄 Maksudnya, nanti kalau bilang ibu (ibu pasti bilang):pasa, pasa, pasa, gitu.  Pasa = puasa, dalam bahasa Jawa.

Benar... Setelah saya tolak dia menangis. Kalau sudah begitu maka tim akan turun tangan. Tapi setelah diajak ibunya mewarnai dia sudah mulai lupa. 

Titik kritis ke dua adalah siang sekitar pukul 15.00 sampai menjelang buka puasa. Siang tadi pertahanan jebol gegara nenek buyutnya gak tega, dan bersamaan itu ibunya memang sedang ke pasar, belanja untuk persiapan buka puasa. Bibi-bibi yang menjaganya kalah otoritas. Saya sedang tidur siang saat itu. Terbangun gara-gara mendengar suara ribut-ribut. Ternyata ibu saya tidak tega melihat cucu buyutnya menangis sewaktu teringat biskuit yang tadi gagal dimakannya. 

Saat ibunya datang, dan mengetahui hal itu, mungkin karena merasa bersalah bocah itu menangis dan menyalahkan iyutnya--panggilan kepada ibu saya. Ibunya tertawa dan membujuknya untuk segera menghentikannya. "ayo, ayo cepetan maem biskuitnya. Sedikit aja, habis gitu puasa lagi.."

Selesai mandi sore dan sekitar setengah jam sebelum buka, cucu saya menangis lagi tergoda melihat botol susu UHT yang memang disediakan untuknya di lemari pendingin. Tidak ada yang berhasil membujuk. Maka saya pun turun tangan. Saya segera pura-pura tergopoh-gopoh memanggil boneka tangan miliknya, Shalihah. "Aduh, Shalihah ini sakit... Mana ambulan, mana ambulan.." Jadilah saya merangkap sopir ambulan, "Nguing, nguing, nguing..." Sejurus kemudian dia terdiam melihat saya. Setelah itu dia pun bergegas mengikuti saya menuju "rumah sakit" . Di rumah sakit saya pura-pura jadi perawat yang memerintah dokter. 😄😄

"Dokter, Shalihah belum minum vitamin...," seru saya. Mendengar itu sang "dokter" pun segera mengambil sendok plastik kecil yang saya sediakan dan pura-pura menuangkan sesuatu dari baby cologne miliknya. Selanjutnya disuapkannya ke boneka yang sudah saya tata juga di atas tas dokter mainan yang kali ini berubah fungsi sebagai bed rumah sakit.  Alhamdulillah, misi sukses hingga adzan Maghrib berkumandang dari masjid di utara rumah kami. 

Hmm, itulah cerita keseruan yang terjadi hampir setiap hari di rumah. Berkah Covid 19, juga, kalau saya bilang. Kalau kalian, bagaimana?






















  • Share:

You Might Also Like

0 komentar