Betah Di Rumah?

By Yuniar Djafar - April 27, 2020


- Gambar dari Francesco Ungaro, Pexels -


Bismillah.

Bicara dengan topik yang menyangkut kata: rumah, membuat saya teringat dengan rumah Rasulullah shalallahu 'alayhi wa sallam. Wait..., saya belum pernah menginjakkan kaki di museum di Madinah, yang mempertunjukkan diorama rumah Rasulullah shalallahu 'alayhi wa sallam. Saya mengetahuinya juga dari internet, dari akun-akun berita dan dari media sosial. Dari situ saya berpikir, andai syarat masuk surga adalah sesederhana itu mungkin kita akan menjadi seperti unta yang memasuki lubang jarum untuk sampai di sana.

Saya bukan dari keluarga yang berlimpah ruah tapi saya tau sangat sulit sekali menemukan kondisi rumah seperti itu. Ada, tetap ada, tapi kalau yang hingga seperti rumah beliau shalallahu 'alayhi wa sallam..., tentu tidak mudah. Apalagi beliau bertempat tinggal seperti itu bukan karena tidak mampu tapi karena pilihan beliau. Hal terakhir ini akan semakin menambah deretan entry barier untuk masuk surga, jadinya.

Saat melihat fotonya saya sadar bahwa benar bagi beliau dan juga para sahabat serta kaum mukmin, bahwa dunia ini lebih buruk dari bangkai kambing. 

Suatu ketika Rasulullah shalallhu 'alayhi wa sallam melewati pasar bersama para sahabat. Lalu beliau melihat bangkai anak kambing yang telinganya cacat. Beliau pun mengambil kambing itu dengan memegang telinganya. "Siapakah yang mau membeli ini dengan satu dirham?" tanya Nabi shalallahu 'alayhi wa sallam.

"Kami sama sekali tidak tertarik untuk memilikinya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?" jawab sahabat.

"Atau mungkin kalian suka kalau ini gratis untuk kalian?" tanya beliau.


"Demi Allah, seandainya hidup pun binatang ini sudah cacat karena telinganya kecil. Apalagi kambing itu sudah mati." kata para sahabat.


Kemudian Nabi shalallahu 'alayhi wa sallam menyampaikan sabdanya:

"Demi Allah  sesungguhnya dunia ini lebih hina di sisi Allah dari pada bangkai ini di mata kalian." HR. Muslim 7607.

Demikianlah dunia di mata Rasulullah shalallahi 'alayhi wa sallam. Karenanya beliau tidak pernah berlebih-lebihan dalam urusan dunia. Beliau mempunyai tempat tidur namun... 

Dari Aisyah radliallahu 'anha, "Tempat tidur Rasulullah terbuat dari kulit yang diisi dengan sabut." (HR. Bukhari no. 6456 dan Muslim no. 2082)

Terkadang beliau tidur di atas tikar yang tebuat dari dedaunan sehingga berbekas di kulit beliau jika tidur di atasnya. Dalam hadits Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma: 

"Umar bin Khattab datang ketika beliau sedang tidur di atas tikar yang membuat bekas pada kulit beliau di bagian sisi. Sontak Umar pun berkata, "Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani tentu lebih baik dari tikar ini. 

Maka beliaupun bersabda, "Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendara menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik lalu ia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari kemudian ia istirahat lalu meninggalkannya." HR.At-Tirmidzi 2/60, Al Hakim 4/310, Ibnu Majah 2/526 dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah 1/800).

Karenanya jika seperti itu maka rumah bagi beliau adalah sekedar tempat berteduh dengan sebenar-benarnya pemahaman dari kata sekedar. Jadi rumah adalah sebatas kebutuhan, bukan keinginan. Artinya hanya fungsi dasarnya saja yang digunakan. Sebatas cukup merebahkan badan, sebatas cukup bisa digunakan sholat atau beribadah. Tidak ada fungsi lain selain itu. Tidak ada fungsi khusus untuk ruang makan, ruang menyimpan pakaian untuk menyimpan koleksi pakaian, apalagi gudang. Sehingga dalam sebuah riwayat dari Aisyah radliallahu 'anha, istri Nabi shalallahu 'alayhi wa sallam, ia berkata, "Aku tidur di depan Rasulullah shalallahu 'alayhi wa sallam (yang sedang shalat-pen) dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri aku meluruskan kedua kakiku." (HR. Bukhari no. 382, Muslim no. 512) Apa yang disampaikan oleh Aisyah radliallahu 'anha menunjukkan betapa sempitnya ruang itu. Itulah rumah Nabi Allah shalallahu 'alayhi wa sallam.

Karenanya jika rumah disandingkan dengan betah maka kata betah itu hadir bukan karena fungsi rumah yang multi lengkap untuk memenuhi hajat keinginan penghuninya, bukan karena konstruksinya yang megah atau disain arsitekturnya yang indah. Melainkan rumah sebagai sekedar tempat berteduh dalam perjalanan usia seorang hamba yang terus membangun ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Karena itu tips untuk betah di rumah tergantung orientasi kehidupan dari si pemilik rumah. Jika kita meniru konsep beliau maka yang harus dipersiapkan dalam sebuah rumah adalah kesadaran jiwa pemilik rumah akan keberadaan dirinya sebagai hamba. Tips untuk orang seperti ini pastilah tidak pernah berlebihan. Untuk betah dia tidak akan punya tips mengenakan pakaian loose fit berbahan katun yang menyerap keringat, yang pemakaiannya didahului dengan ritual berendam di bathub yang telah dipenuhi air hangat dan precikan aroma terapi. Atau menyusun menu berbuka secara khusus dengan menu-menu tertentu.

Bukan untuk nyinyir kalau saya sampaikan ini. Tapi untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa sesungguhnya selama ini kita sudah berada pada kenikmatan yang luar biasa bila mengingat sabda beliau:

"Barangsiapa bangun di pagi hari dalam keadaan merasakan aman pada dirinya, sehat badannya dan ia memiliki makanan untuk hari itu maka seolah-olah seluruhnya  dunia telah dikuasakan padanya." HR. Tirmidzi no. 2346 (dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash- Shahihah no. 2318)

Jadi, tipsnya kalau disingkat isinya hanya dua dan sederhana:

  1. Banyak bersukur
  2. Hidup di dunia ini hanya bersifat sementara. Kita pasti akan kembali mempertanggung jawabkan semua perbuatan dan milik kita selama hidup di dunia. Karena itu hidup secukupnya akan meringankan kita di yaumil hisab nanti. 

Semoga dengan demikian bagaimana pun keadaan rumah kita maka semuanya akan terasa nikmat dan membuat kita betah dan tenang. 

Gampang ngetiknya daripada menjalankannya, ya? 😓

Semoga Allah karuniakan taufiq dan hidayahNya sehingga mudah bagi kita untuk mengikuti teladan beliau, Rasulullah shalallahu 'alayhi wa sallam.










Sumber: Kutipan hadits diambil dari www.muslim.or.id




































Masa kecil saya tinggal di sebuah bangunan, kata orang tua saya itu bekas gudang sekolah. Ukurannya menurut perkiraan saya antara 6m x 3m. Kami tinggal berenam pada awalnya tapi sejak nenek buyut saya meninggal, kami tinggal berlima. Ibu-bapak saya guru sekolah dasar, saya dan 2 saudara saya pada waktu itu masih SD kecuali kakak saya yang sudah SMP. Kami tinggal di situ selama kurang lebih 13 tahun. Oiya, rumah kami hanya berjarak 3-4 meter dari deretan kamar kecil (toilet) yang berjajar. Seingat saya ada 4-5 kamar kecil. Antara kamar kecil dan tempat tinggal kami adalah sebuah gudang sepeda, tempat parkir sepeda murid-murid sekolah. Persis di sebelah barat rumah kami, berdempet dengan ukuran sama, tetangga kami juga seorang guru yang tinggal bersama istri dan 2 anak sepantaran dengan saya dan saudara saya. Pada awalnya memang kedua rumah itu adalah sebuah gudang. Karena teror PKI terhadap bapak saya di tempat kontrakannya, akhirnya atas saran seorang teman dan ijin pihak sekolah bapak saya memboyong kami ke sekolah, menempati bekas gudang tersebut. Beberapa saat kemudian, gudang itu dibagi dua karena ada sebuah keluarga lagi yang membutuhkan. Jadi awalnya gudang tersebut berukuran kurang lebih 6m x 6m lalu dibagi dua. 

Kebayang kan, bagaimana keadaan kami? Rumah kami sempit tapi "halaman" kami luas. Hahaha... 😄😄😄. Laiya, lah... Wong, halaman kami adalah halaman sebuah sekolah peninggalan Belanda. 😄😄😄 Sekarang bangunan sekolah itu menjadi bangunan cagar budaya di Surabaya. 

Di "rumah" itu saya dan kakak serta adik saya tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Saya sempat sakit-sakitan pada masa kecil saya di situ tapi alhamdulillah 'ala kulli hal, akhirnya bisa survive. Di rumah yang seperti itu saya dan kakak saya masih bisa meraih prestasi. Kakak saya selama sekolah dasar selalu menjadi juara 1 mulai dari kelas  sampai 6. Hanya setahun menjadi juara ke dua hanya karena "sedikit keanehan" seorang guru kelas, kalau tidak kelas 4, ya, kelas 5. Prestasi saya tidak sehebat kakak saya. Saya hanya pernah menjadi juara 1-3 naik turun dan selebihnya hanya masuk 4-5 besar saja. Saya bilang masa kecil kami bahagia, kami juga betah di"rumah". Mungkin karena pergaulan dan "gangguan" saat itu tidak separah saat ini, ya. Tapi kalau saya bilang itu karena kekompakan bapak dan ibu. Selanjutnya, saya pikir itu juga karena kami diikutkan ke tempat belajar al Qur'an yang tepat saat itu.

Pagi sekolah, sore ngaji. Begitu setiap hari. Bapak saya memang disiplin soal agama, sedang ibu seorang mualaf yang patuh kepada suaminya. Meski tinggal di tempat yang sempit--hanya terdapat satu ranjang (ranjang susun) di tempat kami. Saya dan kakak saya di bagian atas, di bawah bapak, ibu dan adik. Nenek buyut saya tidur di peti tempat menyimpan beras peninggalan jaman Belanda yang dialasi kasur gulung. Kadang ibu saya di kursi panjang tamu. Oiya penyekat ruang kami cuma berbahan hardboard--belum ada tripleks pada masa itu. Pintu di tempat tinggal kami hanya ada dua, pintu masuk di depan dan pintu belakang selebihnya adalah pintu lemari yang hanya 2 buah. 😄







Saya masih ingat, saat masih sekitar kelas 4 SD orang tua kami mulai mencicil membangun rumah yang berjarak sekitar 10 meter di sebuah daerah bekas persawahan. Tanah yang ditempati untuk rumah itu dulunya dibeli dengan cara mencicil dari seorang kenalan Bapak. Mereka berdua merupakan jamaah dari sebuah tempat sholat Jum'at--sepertinya masjid kecil di daerah perkantoran, berjarak kurang-lebih 1 km dari sekolah yang gudangnya menjadi tempat tinggal kami.  Dengan menjual semua tabungan dan perhiasan yang ada--begitu kata ibu saya--dan kebaikan seorang teman bapak--yang juga seorang guru tapi memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemborong, begitu istilah jaman dulu untuk profesi developer saat itu--akhirnya rumah itu pun jadi. Pertolongan Allah melalui teman Bapak sungguh luar biasa. Beliau membebaskan orang tua saya untuk mencicil semampunya ongkos dan sebagian bahan membangun rumah itu. Akhirnya semua itu lunas setelah dicicil selama 3 tahun lebih. Hmm, masih melekat dalam ingatan bagaimana susahnya kehidupan kami saat itu.

Yang saya mau bilang adalah, selama kami tinggal bersama baik saat tinggal di ex bekas gudang itu maupun di rumah sendiri, kami dalam kondisi sangat pas-pasan. 


Corona, dengan seijin Allah, telah berhasil menyatukan banyak keluarga. Alhamdulillah 'ala kulli hal. Sebelum virus ini menyebar, kesulitan utama sebuah keluarga adalah berkumpul di rumah. Hatta, saat Ramadhan. Gaya hidup menyebabkan ini terjadi. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar