Ke Sini, In Sya Allah...

By Yuniar Djafar - Mei 02, 2020


- Design taken from Canva -


Bismillah. 

Jujur saya sebenarnya sedih saat menuliskan ini. Sedih karena justru pada hari-hari ini Surabaya sedang parah-parahnya, begitu pula Jawa Timur. Karena itu saya pikir sikap yang tepat jika Covid 19 ini berakhir yang paliiing utama dilakukan semestinya bersukur kepada Allah. Duh, semoga kita semua ingat tentang ini karena untuk mencapai kata "berakhir" ini tak terhitung yang meregang nyawa---saya katakan ini karena besarnya korban jiwa, bukan untuk melebih-lebihkan. Karena setiap nyawa manusia sangat berharga di mata manusia dan kemanusiaan, apalagi di hadapan Allah. Selain itu dalam melalui hari-hari dengan pandemi sungguh berat beban yang harus ditanggung oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Ada korban yang meninggal karena mati kelaparan (meski dibantah oleh camat setempat), beratnya kehidupan masa itu bagi mereka yang di garda terdepan, menghadapi kemiskinan karena dampak tidak langsung berupa PHK dan sejenisnya. Pedihnya keluarga yang ditinggalkan karena terpapar adalah kepedihan yang mengiris hati--ditinggalkan tanpa bisa menemani orang-orang yang terkasih saat sakaratul maut, memakamkan dengan kesedihan  karena orang-orang yang biasanya dekat terpaksa menjauh... Akankah kita tega memilih kegiatan selebrasi setelah kepedihan yang menimpa saudara-saudara kita itu? Apalagi jumlahnya tidak sedikit. Semoga Allah hidupkan hati kita untuk mengingat hal ini. 

Berakhirnya Covid 19 juga adalah saat kita bersukur karena kita menjadi bagian dari mereka yang diijinkan Allah "lolos saringan" sehingga kita mempunyai kesempatan baru (lagi). Semoga kita menjadi hambaNya yang bijak sehingga kita memanfaatkan kesempatan itu hanya untuk memperbaiki diri, menjadi pribadi yang bermanfaat untuk keluarga dan lingkungan sekitar.

Tidak ada larangan untuk bergembira, tidak ada perintah untuk selalu murung dalam kesedihan. Tidak, bukan itu, melainkan untuk kendalikan kita dari perbuatan yang melampaui batas karena lupa akan kepahitan yang telah dialami oleh sebagian saudara kita yang menjadi korban dan terseok-seok kepayahan karenanya.

Tentang pertanyaan ke mana saja jika sudah bisa pergi dengan bebas, buat saya, in sya Allah ke sini, jawabnya. 

Pusat Alat Bantu Dengar

Hehehe,ini tentang kewajiban saya menemani ibu untuk cek alat bantu dengar beliau yang tertunda. Idealnya Maret saya sudah harus antarkan ibu ke sana. Jarak tempat tersebut dari rumah sekitar 9 km dengan waktu tempuh kurang lebih 20 menit lebih sedikiiit... Tapi masalahnya memang bukan pada jarak sehingga saya menunda hal ini. Melainkan karena adanya karantina nasional dan PSBB. Saya tidak berani mengambil resiko.

Biasanya kalau mengantarkan ibu, saya memanfaatkan jasa taksi online karena saya tidak mempunyai kendaraan pribadi. Kendaraan umum, siapa yang bisa menjamin jika akan "aman-aman" saja. Kalau kendaraan yang akan kami naiki sebelumnya membawa penumpang, minimal OTG saja, who knows...? Orang tanpa gejala, tidak ada yang tau, bukan? Apalagi usia ibu saya sudah memasuki kepala 8, sedang saya sudah kepala 5. Ya, kami sama-sama sudah termasuk golongan dengan resiko tinggi.

Ke Madura

Bersenang-senang ke pantai? Hihihi, bukan. Melainkan mengunjungi keluarga, adik-adik bapak saya, rahimahullah. Sebelum pandemi datang ada anggota keluarga yang sakit berat tapi kami belum sempat menengok. Selama masa karantina dan PSBB kami hanya bisa terhubung via whatssapp. Dengan mengunjungi langsung kami berharap kunjungan kami membuat keluarga yang sakit lebih terhibur dan silaturahmi bisa semakin erat.

Rumah Teman Ibu

Takziah yang tertunda, mungkin istilah itu yang tepat. Selama pandemi Covid 19 ini ada 2 orang teman ibu yang wafat tapi kami tidak bisa takziah. Mereka meninggal bukan karena terpapar, tapi pandemilah yang  menghalangi kami hadir di pemakaman mereka. 

Teman di usia lanjut adalah teman yang sangat berharga. Di usia lanjut teman juga berarti sosok tempat kita mengidentifikasi diri. Artinya yang mereka rasakan adalah yang kami rasakan. Karenanya saya bisa paham saat mendengar berita duka tersebut ibu saya menangis dengan tangisan yang "tidak sekadarnya".  

Itulah tempat-tempat yang in sya Allah saya kunjungi bersama Ibu (terutama) dan keluarga. Kalau kalian? 


















  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Padahal sebelum pandemi, semua hal itu terasa sederhana dan "sudah pasti bisa", ya mbak. Siapa sangka sekarang untuk keluar rumah sebentar saja kita jadi banyak pikiran macam-macam. Semoga semua lekas normal kembali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, subhanallah... Aamiin. "Ongkos pikiran" itu yang mahal. Terima kasih, sudah mampir, jazakillah khayra.

      Hapus