Hayya, Ini Bukan Review

By Yuniar Djafar - September 30, 2019

Foto: instagram Asma Nadia


Bismillah. Saya katakan yang saya sampaikan ini bukan review film Hayya, ya. Sama sekali bukan.

Saya bukan termasuk film hobbyist. Menonton bioskop, menonton film bukan hobi saya. Saat SMA dulu, yang biasanya menjadi saat kerap-kerapnya remaja menonton bioskop, saya termasuk pengecualian. Seingat saya, selama SMA saya cuma menonton bioskop 1x. Itu pun ditraktir. Ada teman, berulang tahun ke 17 dan sepulang acara ekstra kurikuler pada hari Ahad dia mentraktir beberapa orang untuk nonton film. Film barat, dan di sepanjang pemutaran saya tidak bisa merasakan kenikmatan menonton. Tersiksa sih, tidak, ya. Cuma saya tidak bisa menemukan keseruan, keindahan dan apa pun yang biasa dikatakan para penonton tentang sebuah film. Andai makanan, buat saya proses menonton film itu ibarat  proses makan makanan yang tidak saya inginkan tapi juga bukan  yang saya benci. Ya, hambar dan telan begitu saja. Makanan habis, piring bersih, sudah. Tidak ada keinginan nambah atau mengharap-harap suatu saat akan mendapatkan makanan itu lagi. Persis saat memakan hidangan pada tanggal tua. Hahaha...

Mundur saat SD, ya. Saat SD saya lebih kerap menonton film dibanding periode lainnya. Pada masa SD cukup sering diadakan kegiatan nonton film bersama. Selain itu beberapa kali saya dan kakak diajak oleh bulik-bulik saya, baik bulik dari pihak bapak maupun ibu. Bulik-bulik saya banyak yang senang menonton film dalam artian sepertinya mereka bisa mendapatkan kenikmatan menonton film. Saya taunya dari mereka yang nampak berseri-seri saat merencanakan hingga saat berangkat ke gedung bioskop. Sepulangnya pun demikian. Saat itu saya hanya bisa mengamati saja.  Ibu dan Bapak saya cukup tegas dalam menentukan film mana yang boleh atau tidak boleh untuk kami, putra-putri mereka. Mereka mengijinkan kami hanya menonton film anak-anak. Oiya, orang tua saya sepertinya tidak pernah menjadikan menonton film sebagai bagian dari daftar rekreasi keluarga. Jadi menonton film itu ala kadarnya saja. Tidak pernah ada jadual, tidak pernah ada bahasan film yang menunjukkan antusiasme mereka tentang film. Hmm..., mungkin ini ya, yang menyebabkan saya datar-datar saja terhadap kegiatan menonton film? 😃 

Tapi sebentar, sekali saya pernah terbawa adegan demi adegan sebuah film yang diputar. Judulnya Indiana Jones tapi saya tidak ingat "seri" yang mana. Saya tidak paham dengan istilah sekuel atau prekuel. Saya hanya tau Indiana Jones itu ada semacam "seri"nya entah itu prekuel atau sekuel saya tidak paham. Khusus film ini saya bisa bilang bahwa selesai menonton film ini saya terkesan. Tapi bagaimana detil ceritanya, saya terkesan oleh potongan adegan yang mana, saya lupa. Saya juga lupa bagaimana saya bisa menonton itu. Inisiatif sendirikah atau "terjebak traktiran"? Hahaha...


Na, kemarin saya nonton Hayya. Nontonnya di Lippo Plaza Jember, Cinemaxx. Ceritanya saya lagi bertandang ke Jember, menemani ibu yang kangen dengan cucu-cucunya. Na, ponakan ragil pengin nonton Hayya. Kakaknya yang duduk di bangku SMP kelas 2 sudah ada jadual sendiri nonton Hayya bareng teman-temannya. Jadilah dia mengajak saya dan ibunya untuk nonton Hayya. Itulah yang mengantarkan saya menonton bioskop lagi setelah yang terakhir sekitar 4 atau 5 tahun lalu. Dan gara-gara tuliskan ini saya terkejut. Ya, Rabb..., saya ingat, saya juga pernah nonton film-nya Asma Nadia selain ini ternyata! Astagfirullah... Saya lupa judul persisnya, yang jelas ada Beijing-nya. Sebentar... Ya, Assalaamu'alaykum Beijing. Ada Laudya Cinthya Bella di situ. Saya sempat terkejut saat tau di situ LCB yang dikabarkan sudah berhijab, di film itu ternyata tidak berhijab. Aah, setiap orang punya dinamika hidup masing-masing...

Iya, kan, Hayya ini merupakan film dari Asma Nadia? Mmm, saya tau ada Hayya ini pertama kali karena saya follow Asma Nadia di instagram. Betul lah kalau kata orang instagram media yang cukup ampuh untuk marketing. Contohnya ya, ini. Tapi meski saya sudah tau Hayya saya belum memutuskan untuk menontonnya. Namun dari hal itu setidaknya saya sudah masuk "radar" tahapan Attention dari formula AIDA di marketing via instagram. Ya, Asma Nadia sukses membuka awareness saya akan kehadiran Hayya. 

Hayya mengisahkan seorang pekerja aksi kemanusian yang memutuskan berani menantang bahaya sebagai aktivitas kemanusiaan di Palestina, didorong oleh keinginannya untuk menebus dosa-dosanya pada masa lalu. Dari sini cerita berjalin, berurai dengan keajaiban hadirnya sosok bocah perempuan Palestina melalui proses yang luar biasa. Cukup itu yang saya sampaikan tentang Hayya ini.

Saya ingin sampaikan hal yang sering menggoda pemikiran saya, yaitu, dari mana sebuah kisah yang dituangkan pada layar lebar ini bisa mempengaruhi seseorang? Salah, maksud saya, bagaimana sebuah kisah yang ditayangkan pada layar lebar ini bisa mempengaruhi seseorang? Sebuah film bukanlah sesuatu yang sederhana, sesuatu yang "mati". Dulu, dulu banget, tahun 1900 nenek-kakek kita atau bahkan nenek-kakek buyut kita menyebut film sebagai gambar idoep (gambar hidup). Mungkin pada awalnya istilah tersebut dipakai dengan pemahaman bermakna denotatif. Tapi andai kita mau berhenti sejenak untuk memikirkan ulang maka istilah gambar hidup sebenarnya juga bermakna konotatif. Ya, film itu memang sesuatu yang hidup hingga bisa mempengaruhi penontonnya. 

Jika diamati film selalu menjadi "pembuka" terjadinya pergeseran nilai-nilai. Andai dalam peperangan di laut maka film laiknya kapal destroyer. Tugas mereka justru melindungi kapal yang ukurannya lebih besar. Nilai-nilai yang tabu berubah menjadi biasa setelah "diilhamkan" melalui film. Paling sederhana ingat film anak-anak Petualangan Sherina? Ada sebuah kepingan adegan saat Sherina mengecup pipi Saddam, saat Sherina musti meninggalkan Saddam yang tengah diculik untuk mencari bantuan. Saddam terpaksa ditinggal karena tidak kuat berlari disebabkan asmanya kambuh. Sebenarnya tindakan mengecup pipi di antara anak usia sekolah dasar adalah tindakan yang tidak lazim. Dalam situasi apa pun sepertinya tidak pernah pernah terpikirkan di benak anak usia sekolah dasar pada waktu itu untuk mengecup pipi temannya. Mereka tidak mengenal istilah kasih sayang persahabatan dengan mengecup pipi, apalagi lawan jenis. Tapi dalam film itu terjadi. Melalui film ketidak laziman itu bahkan dibingkai indah. Setelah itu bagaimana dampaknya? Bisa dinilai sendiri. Sinetron di televisi pun mulai memperkenalkan "pacaran pada usia sangat dini". Selebihnya runut saja ke belakang hingga sekarang. Silakan tengok bagaimana LGBT masuk dalam film Arisan yang disutradarai Nia Dinata pada tahun 2004. Film ini sesungguhnya hanya melanjutkan saja jalan yang telah dibuka oleh film Istana Kecantikan yang dibintangi Mathias Mucus pada tahun 1988. Ya, Istana Kecantikan adalah kapal destroyer. Kalau mau mundur lebih jauh bisa sampai pada film Akibat Pergaulan Bebas yang membuka munculnya Akibat Buah Terlarang dan "turunannya" sehingga fenomena hamil sebelum menikah menjadi hal yang tidak mengejutkan lagi. Dan fenomena yang masih terus bergulir adalah maraknya kekurang ajaran kepada guru setelah tayangnya sebuah film remaja yang menghadirkan sosok idola baru di kalangan remaja saat ini.
Foto: instagram Asma Nadia

Karena itu jika menemukan film-film "langka" semacam Hayya  menontonnya adalah salah satu bentuk support untuk tumbuh atau langgengnya nilai-nilai yang kita junjung. Dan itulah yang saya niatkan saat datang ke Cinemaxx, Lippo Plaza Jember Sabtu lalu. Apalagi sudah menjadi rahasia umum pembuatan film-film langka macam Hayya seringkali menghadapi masalah klasik berkaitan dengan pendanaan. Karenanya saya berusaha hanya untuk bisa menikmati apa yang tersaji di layar saat Hayya diputar. Saya menyadari, sesungguhnya dengan menutup mata pun saya bisa temukan kekurangan film ini. Namun saya pun tau film lain yang kata orang-orang film top dan sutradara maupun aktor-aktrisnya nya dipuji-puji sesungguhnya juga memiliki hal yang sama. Percayalah! 

Semoga peran kita yang mirip dengan apa yang dilakukan seekor burung kecil pada Nabi Ibrahim 'alayhissalam saat dibakar bisa menjadikan awal kuatnya nilai-nilai mulia yang kita junjung dan menjadi pembuka kebaikan-kebaikan selanjutnya. Aamiin.






  • Share:

You Might Also Like

0 komentar