Tak Terduga, Dampak Corona Terhadap Proses Pencarian Jati Diri di Mata Seorang Kritikus Mode

By Yuniar Djafar - Agustus 02, 2020

- Foto oleh Tatiana Syrikova dari Pexels -


Bismillah.

Sudah berapa lama kita di rumah saja, atau boleh lah keluar sebentar tapi kemudian bergegas kembali lagi? Masih bekerja dari rumah? Apa yang kalian kenakan saat bekerja seperti itu?  Blus katun & kulot super lebar, setelan jogger pants & stripe sweater a la Anna Wintour atau cukup piyama? Mau bilang, apa saja yang penting nyaman? Boleh...  

Corona telah mempengaruhi banyak sisi kehidupan seluruh penduduk bumi hingga ke ranah mode, dalam hal ini cara berpakaian kita. Pakaian yang sejatinya tidak hanya berfungsi untuk menutup aurat melainkan juga sarana komunikasi, saat ini benar-benar mengalami perubahan yang bahkan mendasar. 

Dalam tulisan di rubrik fashion trend Femina online, disebutkan bahwa orang-orang saat ini menjadi akrab dengan istilah waist-up dressing atau berpenampilan dengan hanya mengutamakan bagian pinggang ke atas. Bagaimana ini bisa terjadi? Karena hanya bagian itulah yang nampak pada saat video call, video meeting atau video conference saat ini. 

Lebih jauh majalah wanita tersebut menuliskan loungewear telah naik kelas di masa pandemi ini. Loungewear sebagaimana dijelaskan di artikel tersebut adalah jenis baju santai, baju rumah, baju males-malesan atau baju santai.

Loungewear yang pernah menjadi trend fashion pada 2014 itu, kini kembali hits di Amerika. Femina melansir bahwa penjualan apparel di negara paman Sam yang  selama pandemi ini anjlok tidak berlaku untuk jenis baju sweat pants, hoodie dan semacamnya. 

Bagi saya hal-hal seperti itu -- perubahan dalam kebiasaaan berpakaian -- adalah hal yang biasa. Wajar, kan, jika keadaan berubah maka kebiasaan pun berubah? Apakah kalian pun begitu?

Let's see, ternyata tidak sesederhana itu. Ada yang mengkritisi perubahan kebiasaan berpakaian akibat pandemi itu, sesuatu yang membuka wawasan saya lebih jauh. Saya temukan itu saat membaca sebuah tulisan, tepatnya transkrip percakapan seorang kritikus mode untuk The Washington Post, Robin Givhan dan Noel King dari NPR, National Public Radio, sebuah organisasi media nirlaba yang berbasis di Wahington, AS.

Itu adalah sebuah percakapan jarak jauh, atau virtual -- entah menggunakan aplikasi apa -- dalam sebuah acara dengan Noel King dari radio NPR sebagai pemandu acara. Mereka berdua membicarakan tentang pakaian selama jalani bekerja dari rumah. Working For Home: Are You Dressed For Succes or Wearing Pajamas? Itu topiknya.

Sebagai seorang kritikus mode, Robin Givhan yang pernah mendapatkan penghargaan Pulitzer rupanya merasa prihatin atas semua perubahan dalam kebiasaan berpakaian yang terjadi karena corona. 

Ketika King bertanya, apakah cara kita berpakaian saat bekerja menunjukkan jati diri kita, Givhan menjawab.



- Foto oleh Rebrand Cities dari Pexels -


"Well, saya pikir cara berpakaian itu menunjukkan sesuatu tentang, pertama, siapa Anda, tapi saya pikir itu (juga-pen) menunjukkan kepada khalayak tentang harapan Anda dan agenda Anda pada hari-hari Anda. Dan saya juga berpikir cara berpakaian itu merupakan garis pemisah antara penampilan kita sebagai pribadi dan kita sebagai bagian dari publik, saat kita bermain dan saat bekerja. Jadi itu semacam rangkaian kegiatan hari-hari Anda.

Selanjutnya sang host memberitau bahwa dirinya (saat wawancara itu-pen)  mengenakan celana yoga. Dia juga mengatakan bahwa sudah seminggu tidak bisa melepaskan diri dari piyama. "Masalahkah pakai piyama selama bekerja dari rumah?" lanjutnya dengan nada bertanya.

Givhan menjawab, "Saya tidak berpikir itu sesuatu yang buruk, pada awalnya.  Karena pikir saya itu hanya sekedar cara orang bersenang-senang disebabkan mereka sekarang bisa nyaman dan leluasa seperti yang mereka inginkan. Namun jika Anda terus menerus seperti itu keadaan akan menjadi rancu. Maksud saya..., beberapa orang mengatakan pada saya, oh, saya lupa hari apa ini (atau-pen) tiba-tiba saat saya mendongak ternyata sudah siang, ya..., dan saat itu sudah hampir jam 7. Jadi, saya pikir ketika Anda berhenti mengenakan pakaian yang selama ini juga berfungsi  menunjukkan batasan waktu-waktu dalam kehidupan Anda semuanya akan menjadi blur,  untuk menunjukkan sebuah ungkapan tentang rangkaian kerancuan. 


King melanjutkan lagi dengan, "Pertanyaan besarnya adalah berapa lama dan bagaimana selanjutnya hal itu? Dan saya takjub -- Anda benar-benar ahli dalam ranah ini. Ketika Anda berpikir hal ini kemungkinan akan berlanjut  hingga enam atau delapan minggu, orang-orang tidak mengganti piyama atau celana yoga mereka atau yang sejenis dengan itu, apakah Anda kuwatir bahwa kita sebagai bangsa akan menghadapi masalah dalam kerancuan yang meluas tentang (persepsi-pen) lokasi dan waktu?" 

Givhan: Ya. Saya pikir kita akan kehilangan sedikit bagian dari diri kita dan individualitas kita. Maksud saya, itu adalah rangkaian kesedihan, terutama untuk orang-orang muda, semua akan mengalami proses mengenali jati diri. Dan bagian dari proses itu salah satunya adalah mencoba berbagai personalitas. Dan kita mendapatkan hal itu melalui pakaian. Dan menurut saya itu akan menyulitkan untuk memahami jati diri kita, apa yang kita inginkan dan apa yang pas ketika Anda tidak menemukan kesempatan untuk memerankan karakter-karakter yang berbeda (melalui berpakaian-pen).

King: Apakah Anda bekerja dari rumah?

Givhan: Saya bekerja dari rumah. Kami baru saja memasuki -- Saya kira, minggu ke tiga, sekarang.

King: Dan apa yang Anda kenakan?

Givhan: Well, you know, setiap hari, saya mencoba mengenakan, you know, setidaknya, setelan favorit jeans dan kemeja atau semacam itu. Kemarin saya mengenakan T-shirt bling-bling karena saya merasa butuh sedikit gemerlap dalam hidup saya. (Meski-pen) yang menghargai saya hanya anjing saya waktu itu. Tapi, you know, saya merasa lebih baik.




- Foto olen Anna Shvets dari Pexels -


Ya, pakaian atau fashion tidak pernah berarti hanya sebagai selembar kain. Pakaian sebenarnya adalah bagian dari kepribadian setiap orang. Pakaian mampu memberi pengaruh dalam kehidupan kita. 

Saya jadi ingat kisah seorang wanita hebat, penemu jarimatika dan pendiri Institut Ibu Profesional (IIP), Septi Peni Wulandani. Salah satu program andalan  IIP adalah 7 to 7. Apa itu?

7 to 7 adalah program untuk menggantung daster dan berganti pakaian yang layak, rapi dan indah sejak pukul 7 pagi hingga 7 malam. Daster hanya dipakai pada jam-jam di luar jam tersebut, saat menyelesaikan pekerjaan rutin rumah tangga saja. Semua itu untuk menghargai profesi sebagai seorang ibu rumah tangga.

Ia lakukan semua itu setelah terinspirasi ungkapan "Al-ummu madrasatul ula", ibu adalah madrasah pertama dan utama untuk anak-anaknya. Dan dia awali hal besar itu dengan menetapkan jam kerja dan mengganti pakaian kecintaan ibu-ibu, yaitu daster dengan pakaian selayaknya yang dipakai oleh mereka yang bekerja di ranah publik.

Hmm, ada benarnya ya, kekuatiran Robin Givhan? Iya, kan?












Sumber:

https://www.npr.org/2020/03/26/821811836/working-from-home-are-dressed-for-succes-or-wearing-pajamas

https://www.femina.co.id/fashion-trend/loungewear-baju-rumah-naik-kelas

https://www.republika.co.id/berita/humaira/fashion/14/06/07/n6s076-agar-tampilan-loungewear-terlihat-chic-saat-dikenakan

https://republika.co.id/berita/nl524k24/septi-peni-wulandani-menjadi-ibu-profesional

https://www.jawapos.com/features/03/05/2017/septi-peni-wulandani-penggerak-institut-ibu-profesional/



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar