Mengawali Bisnis Bonek? Boleh, Tapi Musti Tau Dulu Arti Bonek, Ya...

By Yuniar Djafar - Agustus 24, 2020

 

- Foto Pexels dari Pixabay -

Bismillah.

Apa yang kalian bayangkan saat mendengar kata bonek? Kekacauan? Miris? Hmm..

Saya lahir di Surabaya. Saya memulai bisnis saya dengan bonek. Membangun bisnis dari nol, modal nekad. Tapi bonek bukan berarti tanpa persiapan, pokoknya asal buka saja. Pokoknya buka karena lagi pengin saja... Senekad-nekadnya masih ada yang dijadikan pegangan. Nekad itu bukan mabuk! Nekad masih mempunyai kesadaran, sesadar-sadarnya. 

Bonek, menurut saya

Orang sering salah paham dengan istilah bonek, bondo nekad (yang benar seharusnya nulisnya banda nekad. Tapi memang sudah kadung salah kaprah, ya..). Yang terjadi saat ini, orang banyak memahami bonek ini jadi mirip-mirip bunuh diri, gitu. Padahal tidak demikian.

Banda nekad berarti sadar akan kekurangan tapi tau yang ingin dicapai. Untuk itu yang terjadi adalah optimalisasi. Mengoptimalkan yang ada pada diri sendiri.

Konsep Sederhana

Menurut saya untuk memulai bisnis kita musti  punya apa, ya... Mmm..., punya konsep meski sederhana. Konsep yang saya maksud adalah tau: 

1. Seperti apa yang kita jual dan, 

2. Bagaimana cara menawarkannya. 

Bukan sekedar nol puthul (bahasa Jawa, artinya patah) atau remeg (bahasa Jawa, artinya hancur), apalagi. 

Seperti apa, adalah tau karakter produk yang kita mau hadirkan. Saya bilang hadirkan karena bisa saja kita tidak proses sendiri produksinya, tidak bikin sendiri. Kita mungkin makloon atau meminta pihak lain membuatnya tapi konsep produk atau arahannya harus kita kuasai. Jadi kita tau produk yang kita inginkan untuk kita jual. Kita punya mimpi tentang itu.

Bagaimana cara menawarkannya buat saya sebenarnya lebih mengarah ke cara komunikasi dengan pelanggan. Cara menarik perhatian mereka. Cara mengemasnya. Ya, semacam itulah.

- Foto oleh Bernd Schray dari Pixabay -

3. Benchmark

Selain itu saya punya semacam pijakan atau tolok ukur, yang sering orang menyebutnya dengan benchmark. (Duh, semoga saya tidak keliru ya, memahami kata ini). Untuk produk saya, dulu benchmark saya adalah produk yang digantung dan dilipat di rak-rak Matahari Dept. Store (sekarang pamornya sudah meredup, ya). Pada jamannya, Matahari adalah rajanya departement store. Buat saya kualitas Matahari sudah mencukupi. 

Jadi saat saya memilih bahan, yang saya bayangkan adalah kualitas bahan yang sekiranya setara dengan yang biasanya digunakan oleh produk-produk di situ. Kualitas jahitan pun begitu. 

Saya tidak menguasai teknik produksi atau jahit-menjahit tapi saya tau yang "bagus" menurut saya. Karena itu konsep basic quality control  sekaligus "supreme court judge"-nya -- jika ada masalah -- selalu berawal dari saya dan berakhir di tangan saya.  Oiya, meski usaha saya kecil, saya menempatkan proses quality control untuk produk-produk kami. Biasanya yang menempati posisi ini sering tidak bisa akur dengan para penjahit dan sebaliknya. Sudah bukan rahasia lagi...

Semua itu saya jalankan karena konsep berlian yang saya pegang untuk usaha saya. Yang pengin tau tentang konsep berlian saya, silakan baca ini.

Karenanya untuk iklan pun saya selected dan saya masukkan dalam skala prioritas dalam penyusunan anggaran. Mungkin saya keliru tapi pengalaman saya it works! Kejatuhan usaha saya, menurut saya juga bukan karena ini.

Meski sekedar untuk iklan yang sifatnya dokumentatif, saya selalu memilih studio yang kelasnya bagus. Saya tidak mempunyai peralatan fotografi yang mumpuni. Untuk model, saya comot dari orang-orang terdekat mulai dari keponakan, teman dan orang-orang yang saya kenal tapi saya cari mereka yang memang senang difoto.

Iklan dokumentatif? 😄😄😄

Dikatakan iklan sih, sebenarnya tidak layak tapi karena fungsinya untuk menunjukkan produk-produk saya, maka saya memasukkan hal tersebut dalam kategori iklan. Hihihi...

Dulu saya memulai penawaran dengan menunjukkan foto-foto model yang mengenakan produk saya. Ya, penawaran penjualan atau sekedar tunjukkan ke teman-teman yang ingin tau produk saya tapi tidak sempat ke workshop saya. Karena foto-foto yang sudah bagus pula -- menurut saya, saya jadi percaya diri saat ajukan permohonan sebagai UMKM binaan instansi pemerintah. 

Jadi merasa kayak sudah benar-benar siap atau merasa sudah memiliki persiapan yang baik dengan adanya foto-foto itu.


- Foto Koleksi Pribadi -


Proses seperti itu saya lalui sembari belajar dengan melihat-lihat foto produk dari luar negeri, yang menurut saya bagus. Mengapa demikian? Balik lagi, meski modelnya masih comot dari orang-orang sekitar tapi konsepnya saya belajar dari label-label yang top menurut saya.

Kemasan pun demikian. Saya berusaha bikin yang tidak dibikin oleh produk sejenis. Konsep menghindari kerumunan memang saya gunakan untuk desain produk dan "komunikasi" saya. Ekstrimnya, kalau orang sudah bikin, apalagi banyak yang bikin... Saya tidak akan bikin.

Saya membayangkan yang memakai produk saya adalah orang-orang yang menginginkan kualitas dan tidak masalah untuk nampak berbeda. Bahkan tidak suka sekedar mengikuti arus untuk penampilan mereka. 

Dari semua itu, setelahnya saya berusaha untuk istiqomah. Konsisten itu penting banget. Jadi saat saya memutuskan untuk mengambil "jalan berlian" maka saya harus istiqomah di situ supaya orang tau bahwa saya memang jualan produk dengan nilai berlian.

Karena modal tidak besar, maka yang paling bikin capek dalam semua proses yang saya lakukan adalah mikirnya! 😄 

Setiap saat harus menyiasati anggaran yang terbatas untuk dapatkan hasil maksimal. Inilah alasan untuk memulai bisnis  berdasar passion atau hobi musti dipertimbangkan. Saya tidak tau andai yang saya tekuni ini tidak menjadi passion saya, akankah saya bisa bertahan hingga lebih dari 15 tahun atau tidak. 

Wallahu 'alam.


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar