Tentang Tua

By Yuniar Djafar - Agustus 29, 2019

Foto: Pexels



Menjadi tua adalah sesuatu yang pasti dialami oleh setiap manusia. Bertambah umur berarti bertambah tua. Setiap hari kita dalam proses menua. Andai hidup adalah sebuah perjalanan maka tua menunjukkan kaliber atau jam terbang manusia. Seorang pilot dihargai dari jam terbangnya. Dan seorang wanderer disegani lantaran jauhnya jarak yang telah dia tempuh. Perjalanan berarti catatan tentang jarak tempuh, catatan tentang interaksi dengan sesama, tentang tempat, bangunan yang telah disinggahinya, alam yang telah dijejaknya dan persinggungan budaya yang menyentuhnya. Dan semua itu tak ternilai harganya. Dari perjalanan kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dan hikmah  yang bermanfaat untuk kehidupan. Perjalanan sebagaimana usia adalah sesuatu yang melekat pada setiap manusia. Karenanya mungkinkah bila dibuang?

Banyak orang tidak ingin disebut tua atau nampak tua. Tua telah menjadi momok dalam kehidupan. Kata tua saat ini nyaris nyaris seperti kata kanker. Sesuatu yang ditakuti, yang harus dicegah dan dilawan. Saya tak hendak sebutkan nama-nama dari layanan atau produk dari klinik aesthetic atau perusahaan kosmetik yang menjadikan ageless atau anti aging sebagai kunci daya tarik layanan atau produk mereka untuk membuktikan yang saya sampaikan ini. Saya tidak mempunyai kemampuan untuk ini.

Ya, menjadi tua saat ini seolah menjadi "masalah baru". Dan effort yang dilakukan untuk menolaknya juga tidak main-main. Tidak hanya itu, saat ini semakin banyak saja "ibu yang menggeser mbah putri, eyang atau nenek". Maksudnya, sekarang para cucu semakin banyak yang memanggil nenek atau eyang mereka dengan sebutan ibu, mama atau yang setara. 

Menjadi tua diterima tidak sebagaimana generasi orang-orang tua kita terdahulu menerimanya. Jaman dulu orang tua sangat diagungkan. Sehinggga tidak mengherankan jika di Sumenep, Madura para cucu memangil nenek mereka dengan sebutan "Agung" meski itu biasanya dilakukan oleh mereka dari golongan bangsawan setempat. 

Dalam budaya Jawa berbicara dengan orang tua tidak boleh ngoko melainkan menggunakan bahasa krama inggil. Ngoko adalah tingkatan bahasa yang paling rendah dan dianggap kasar. Dipakai untuk berbicara dengan mereka yang seusia,biasanya sih, pada usia anak-anak atau usia remaja/muda. Setelah ngoko tingkatan selanjutnya adalah krama, kemudian yang tertinggi adalah krama inggil. Dari sini bisa dilihat bagaimana kedudukan orang tua pada jaman dulu. 

Singkat kata pada jaman dulu menjadi tua berarti meningkatnya martabat. Itulah sebabnya kata sesepuh (sepuh dalam bahasa Jawa artinya tua) diberikan bagi mereka yang berwibawa, arif dan berwawasan luas. Dan yang dianggap memiliki itu semua adalah mereka yang sudah sepuh (tua).


Nah, kalau kita tidak bisa menerima fase tua dalam hidup kita, itu sama dengan  membuang sebagian kehidupan kita yang sebenarnya sangat berharga. 

Menjadi tua adalah proses untuk sebanyak-banyaknya mempersiapkan diri pada tahap akhir kehidupan di dunia menuju kehidupan selanjutnya, yaitu kehidupan di akhirat. Menjadi tua adalah kesempatan untuk mengumpulkan kredit poin. Dan menjadi tua akan menjadi sebuah keburukan yang membuat kita menyesal jika pada saat itu kita tidak memanfaatkannya untuk kebaikan.


Sebaik-baik orang adalah yang panjang umurnya dan amalannya baik. HR. at Tirmidzi.
"Janganlah seseorang dari kalian mengharap kematian. Dan jangan pula berdoa agar segera mendapat kematian sebelum kematian itu datang kepadanya. Sesunguhnya bila ia mati maka terputuslah amalannya dan bahwa tidaklah usia seorang mukmin itu bertambah pada dirinya kecuali akan menambah kebaikan. HR. Muslim no 2682".

Semoga kita bagian dari mereka yang pertambahan usianya berarti juga pertambahan kebaikan-kebaikannya, ya...




















  • Share:

You Might Also Like

2 komentar