Menulis, Perjuangan Panjang Mengejar Obsesi
- Desain diambil dari Canva - |
Bismillah.
Menulis adalah bersenang-senang, menulis adalah membebaskan, menulis adalah... Pasti akan banyak yang bisa melanjutkan titik-titik itu dengan beragam kata. Tapi buat saya menulis adalah perjuangan panjang, seumur hidup saya.
Berawal dari ucapan kakak saya, "Orang (dikatakan) pandai itu kalau bisa menulis." Entah dari mana ucapan itu didapatnya tapi yang jelas sejak saat itu menulis jadi obsesi saya.
Saya ingat, saat kakak menulis di atas kertas dan bilang akan mengirimkan tulisannya ke majalah Si Kuncung. Majalah anak jaman baheula itu sering dibeli ibu buat kami bertiga, termasuk adik. Kakak mengatakan itu sambil melipat kertasnya. Katanya, "Aku mau mengirim ke "Kucari Uang Sendiri."
Kucari Uang Sendiri adalah rubrik yang disediakan oleh majalah Si Kuncung untuk anak-anak yang ingin menceritakan pengalaman pribadinya dalam tulisan pendek. Bagi yang tulisannya dimuat akan mendapat honor. Mungkin tujuannya untuk menarik minat menulis bagi para pembacanya.
Saya tidak ingat apakah akhirnya kakak benar-benar mengirimkan tulisannya atau tidak, dimuat atau tidak. Saya tidak ingat. Saya hanya ingat sejak saat itu keinginan bisa menulis benar-benar tertoreh dengan kuat pada benak saya.
Kelas lima berbekal mesin ketik bapak, saya mencoba membuat komik di atas kertas buram. Saya gambar sendiri, saya ketik sendiri. Hasilnya? Kakak tertawa melihat "komik" saya... Saya tidak marah karena saya juga tertawa. Tertawa karena "komik bergambar" itu arah halamannya jumpalitan. Saya bingung mengatur halaman pada saat mengetik.
Tidak putus asa, ketika esde kelas enam, teman saya, Ita namanya, pindahan dari Jakarta, mengajak menulis puisi dan mengirimkannya ke majalah Bobo. Maka sejak saat itu suara mesin ketik terdengar ramai hingga tengah malam, hingga tetangga menanyakan. Maklum, waktu itu rumah kami masih di tengah sawah, ya...
Karena belum mengerti, saya mengirimkannya asal lipat saja kertas berlembar-lembar itu dalam satu amplop hingga gembul dan saya masukkan ke kotak pos. Kemungkinan besar lembaran-lembaran itu tidak sampai ke meja redaksi majalah Bobo karena di meja pos saja sudah tidak memenuhi syarat. Hahaha..
Masih kelas enam, sekolah menunjuk saya dalam lomba menulis. Tapi saya benar-benar blank... Saya hanya asal tulis. Temanya: pembangunan. Dan wajar, saya kalah!
Setelah itu kesibukan sekolah membuat saya nyaris tidak pernah menulis kecuali tugas sekolah.
Saat SMA dan kuliah hasrat menulis beralih pada kesenangan mendongeng buat adik-adik sepupu yang beberapa di antaranya memiliki usia yang cukup jauh dengan saya. Jadi setiap liburan, entah saya ke rumah mereka atau mereka yang berlibur ke rumah orang tua saya, sebelum tidur mereka meminta saya untuk mendongeng. Bahannya? Asal karang saja. Kadang sumbernya dari buku-buku cerita anak yang pernah saya baca tapi tak jarang juga murni karangan yang muncul saat itu juga.
Na, jelang lulus kuliah saya justru mendapatkan peluang..., eh, bukan peluang, ding. Kewajiban, tepatnya. Penyebabnya saya menjadi panitia lomba membaca cerita anak-anak yang pesertanya adalah siswa sekolah dasar.
Lomba ini merupakan usulan saya sewaktu aktif pada kegiatan remaja masjid. Usulan diterima dan bisa ditebak, saya berkewajiban menyiapkan semua konsep hingga materi lomba. Jadilah saya ngebut membuat tiga buah cerita anak-anak dalam waktu seminggu. Biasa..., mood gak muncul kalau belum kepepet... 😃
Saya seperti Narcissus rasanya. Terpana dengan hasil tulisan sendiri saat dibacakan oleh para peserta. Hihihi... Apalagi ketika dibacakan oleh salah satu peserta, seorang siswi Sekolah Dasar Islam di Jakarta yang datang ke Surabaya karena liburan sekolah. Meski jurinya bukan hanya saya, dua juri yang lain ternyata berpikiran sama dengan saya. Dia memang pantas menjadi juara.
Dari peristiwa itu saya merasa mendapat semangat baru untuk mulai menekuni dunia menulis cerita anak, tapi ternyata semangat itu menguap dihembus kegiatan lain. Tapi yang terus membekas adalah asiknya menulis cerita anak. Hingga kemudian di dalam hati saya menyimpan keinginan untuk menjadi penulis cerita anak suatu waktu.
Dan akhirnya, here I am... Ada pelatihan menulis cerita anak yang diadakan oleh Ruang Aksara yang dipandu mbak Dedew, Dewi Rieka. Hmm, pandemi menyisakan waktu luang yang panjang, jadilah saya ikut kelas onlen itu.
Saya senang bisa menemukan dan mengikuti kelas tersebut. Dari kelas tersebut saya sudah mulai mencium "aroma kepenulisan yang benar". Maksud saya pesertanya ternyata banyak yang jago, tulisan mereka banyak yang sudah "di jalan yang benar". Ngeri-ngeri sedaplah, saya jadi merasa temukan teman "berpacu". 😄😄
Senangnya lagi mbak Dedew adalah tipe guru yang sabar. Saya senang mendapatkan guru seperti beliau karena saya jadi bisa ikut rileks, sesuatu yang sangat membantu dalam "menghidupkan mesin" menulis saya, khususnya cerita anak-anak.
Satu hal yang berkesan buat saya adalah penjelasan agar cerita menarik sebaiknya dibubuhi konflik di dalam tubuh cerita. Itu adalah hal baru buat saya.
Sewajarnya dalam proses belajar selalu ada praktiknya, kan... Begitu pula di kelas yang saya ikuti ini. Semua peserta diwajibkan membuat cerita anak berdasar materi yang telah disampaikan mbak Dedew.
Setelah muter-muter mencari ide saya teringat keponakan saya yang suka banget dengan ayam goreng buatan Ibu saya. Tapi dalam cerita ini garis nasabnya saya acak sedemikian rupa. 😄😄😄
Inilah cerita saya.
Ayam Goreng Iyut
"Bun, tadi mbak Rin telepon. Iyut besok mau ke sini," kata Ayah sembari berdiri dan meninggalkan meja kerjanya. "Diantar Reza,"lanjut Ayah yang kemudian menyeruput secangkir kopi yang disediakan Ibun.
"Iyut mau datang, pasti Ayah yang paling seneng..." teriakku.
Ibun muncul dari dapur tersenyum, tepatnya tertawa kecil karena gigi putih Ibun yang rapi jadi kelihatan.
"Iya, kan, Bun?" kataku sambil mencomot udang tepung goreng hangat yang dibawa Ibun.
"Iya, dong," jawab Ayah sambil tertawa lebar.
"Memang hanya Ayah saja yang senang?" kata Ibun. "Ibun juga senang, tau...," kali ini Ibun memencet hidungku.
"Auww, sakit...," teriakku pura-pura.
"Hmm, kalau begitu Ibun harus telpon pak Yanto, nih," kata Ibun. Pak Yanto adalah penjual ayam potong langganan Ibun.
Ini adalah kebiasaan yang terjadi saat Iyut mau datang. Setiap berkunjung beliau selalu memasakkan ayam goreng. Ya, ayam goreng adalah menu kesukaan Ayah. Banyak yang bilang jika Ayah adalah cucu kesayangan Iyut.
Sehari-hari Iyut tinggal bersama budhe Rini, kakak tertua Ayah. Budhe Rini tinggal di Surabaya. Orang tua ayah, nenek dan kakekku, sudah wafat semua tapi Iyut masih sehat dan lincah. Banyak orang yang mengira Iyut adalah ibu dari Ayah. Di usianya yang kata Iyut sudah 90 tahun, Iyut masih sehat dan kuat. Beliau suka memasak.
--- o ---
Keesokan hari tepat pukul 09.00 wib Iyut datang.
"Tolong ambilkan handuk dan dasterku, aku mau mandi dulu," tukas Iyut sambil berjalan memasuki rumah. "Ini musim Corona, setiap dari perjalanan aku selalu mandi dan ganti pakaian untuk berjaga-jaga," lanjutnya.
"Bener, tuh, dengar Iyut...," timpal Ibun.
Ah, Iyutku memang hebat, di usianya yang sudah sepuh beliau masih disiplin.
Selesai mandi, begitu pula kak Reza, kami berkumpul di ruang makan. Dengan bersemangat Iyut membuka bungkusan, oleh-oleh beliau satu per satu di meja makan.
"Iyut, ayamnya in sya Allaj siap. Sebentar lagi pak Yanto akan kirim aysmnya ke mari," kata Ibun.
"Eh, gak usah, gak usah," jawab Iyut.
Ibun terkejut dan melongo. Ayah sendiri juga terkejut dan memandang Ibun dengan bahu terangkat.
Kak Reza menukas, "Iyut sudah masak di rumah, Om."
"Tumben, Yut...," kata Ibun.
"Iya, aku pikir daripada capek-capek di Pamekasan lebih baik kubuatkan saja di Surabaya," jawab Iyut sembari membuka kotak makan besar yang ketika dibuka berisikan ayam yang sudah diungkep.
Ayahpun mendekat dan menyorongkan wajahnya ke atas kotak itu, " Hmm, syaddaaap!" serunya.
Iyut tertawa geli, tangan beliau mengucel-ucel kepala Ayah. "Kamu ini, Tom, Tom, Tom...," ucap Iyut.
"Ih, ayah kolokan!" seruku.
Ibun tertawa, " Sudah, sudah... Mana, Yut, saya masukkan kotaknya ke kulkas," dengan cekatan Ibun meraih kotak berisi ayam itu dan membawanya ke kulkas.
Ayahku memang masih suka manja ke Iyut. Kata Ibun dan cerita Iyut, Iyutlah yang menyusui Ayah waktu masih bayi. Kata Iyut, Ayah dilahirkan melalui operasi Caesar dan sehari setelah operasi, Nenek Putri--ibu dari Ayah--wafat. Dengan minum ramuan jamu akhirnya Iyut bisa menyusui Ayah.
"Ayo, Lel, mana wajannya?" Kali ini Iyut sudah berada di dapur memanggil Ibun.
"Yut, nanti saja goreng ayamnya. Iyut masih capek, kan...," kata Ayah dekat di telinga Iyut. Ayah melakukan ini karena pendengaran Iyut sudah banyak berkurang.
"Tidak, aku tidak capek. Sekalian saja... Mana, Lel, wajannya," Iyut bersikukuh.
Betul juga, tak lama kemudian aroma ayam goreng memenuhi seluruh ruangan. Hmm, ayam goreng Iyut memang juara. Meski sering kali agak gosobg setiap menggoreng karena penglihatan beliau sudah tidak sempurna, kami menyukainya. Rasanya legit, ada manis-manisnya. Kata Ibun itu karena Iyut aslinya orang Solo. Orang Solo suka yang manis-manis, kayak aku manisnya... Hehehe.
Bila sudah tercium aroma seperti ini, maka Ibun pun dengan cekatan mengulek "jge-cabbih" yaitu sambal Madura yang hanya terdiri dari garam dan cabai, yang kemudian sedikit dituangi minyak goreng sisa menggoreng ayam. Aku membantu mengupas mentimun dan menyiangi kemangi yang sudah dicuci terlebih dulu.
Hmm, jadilah siang ini kami makan beramai-ramai. Di tengah-tengah menikmati makan nasi ayam goreng, terdengar dering ponsel Ibun.
Aku yakin banget itu pasti pak Yanto yang akan mengantar ayam pesanan. Tapi aku tenang saja sebab besok Ibun pasti sudah punya agenda baru, mengolah aysm-ayam yang batal dibuat ayam goreng. Bisa jadi ayam itu akan dioper menjadi isian sosis Solo kesukaan Iyut. Asiiik, kan...
--- o ---
Menurut mbak Dede cerita ini penyampaiannya sudah mengalir dan bahasanya sudah menganak. Tapi..., na, ini kelemahannya, tidak ada konflik!
Hahaha, saya kan, pecinta damai, jadi sengaja menghindari konflik.. Eh, bercanda.. 😂
Saya mengakui kekurangan saya dan menjadi catatan penting buat saya dalam menuliskan cerita-cerita anak selanjutnya, in sya Allah.
Bisa sampai pada tahapan ini, saya bersukur. Setidaknya saya sudah mulai on the track (meski baru di tepi-tepinya) dalam mengejar obsesi saya. Selebihnya sih, masih panjaaaang..dan saya belum tahu bagaimana. Gak masalah, buat saya yang penting jalani saja dulu. Bismillahi tawakaltu 'alallah.
Bagaimana menurut kalian?
21 komentar
Menulis bagi saya adalah mengeluarkan isi kepala daripada dipendam khawatir mledug! hehehe. Salam kenal yaa
BalasHapusHihihi, boleh, boleh.. Terima kasih sudah mampir. Salam kenal balik, ya 😊
BalasHapusMbak, aku juga suka majalah Bobo dari harga 3500 aku masih dapat. Dari membaca majalah itu selalu mjd moodbooster untuk nulis dan baca. Oki sama Nirmala sekarang sudah hadir di Youtube mbak, jamanku masih liat dia dimajalah. Dari kecil suka nulispuisi tapi teman-teman suka bully, sampepernah gak main sosmed mbak gara-gara pernah di bully. Dan akhirnya saya dapat nasehat bahwa klo kamu akan dihargai sama orang yang tahu value kamu. Akhirnya nyari-nyari komunitas menulis dan memberanikan diri untuk membuat blog dan bisa saling support. Seneng banget ketemu mbak sama teman-teman lainnya.
BalasHapusTerima kasih, jadi tambah teman, tambah info.. Iya, bener, bener... Cari teman yang bisa mendukung perkembangan kita. Saya juga senang, mbak. Saya yakin teman-teman pun demikian.
HapusSemoga cita-cita untuk menulis cerita anak tercapai ya mba.. Amiin Insya Allah. Tepi2 juga gpp mba, yang penting terus berusaha dan ada progress. Ga sekedar wacana hehehe. Tetap semangat ya mba.. Bismillah
BalasHapusIya, bener... Terima kasih supportnya. Jazakillah khayra.
HapusSemangat Mbak Yuniar. Berlatih terus, insya Allah bisa, yes. Saya juga terus belajar, ini. Selain cerita juga teknik penulisannya.
BalasHapusLup, lup... Terima kasih mbak Hayatilah. Betul, belajar harus terus dikejar.
HapusWah, saya juga suka mengirim tulisan ke majalah bobo loh mbak, masih kerasa banget momennya sampe sekarang, jadi rinduu hehe
BalasHapusWah, memang ya, kirim tulisan ke majalah Bobo, bisa jadi kenangan yang tak terlupakan. Terima kasih, mbak Indah.
HapusAku dulu juga hobinya baca majalah bobo, tapi bedanya aku bukan ngirim tulisan berupa cerita, tapi ngirim surat untuk cari sahabat pena xD
BalasHapusAh iya, betul dulu ada sahabat pena. Belum ada whatsapp, chatting via surat.. Kenangan manis yang tak terlupakan.
HapusMbak yuniar, aku salfok sama ayam gorengnya nih sampe akhir bacaan. Ngebayangin ayam goreng serundeng yang pernah aku makan ada manis-manisnya. Duh udah macem iklan le mineral dah hahaha
BalasHapusHahaha... Iya, ayam goreng a la le mineral..
Hapusmenulis itu menciptakan kedamaian juga dalam diri yaa :') waktu kecil juga beberapa kali kirim tulisan ke majalah tapi masih terlalu amatir mungkin ya jadi gada yg dimuat wkwkwk
BalasHapusHehehe, idem., mbak Radiani. Saya juga begitu.
HapusSetuju banget mbak, menulis itu bisa jadi tempat untuk mengeluarkan pikiran-pikiran yan ada di dalam pikiran.. jadi bisa dikatakan untuk relaxasi ataupun me time.
BalasHapusMajalah bobo aku sukaa, tapi dulu aku bisanya minjem dari tetangga soalnya ngga langganan..seneng banget sewaktu baca majalah boboo
Semangat mbak untuk selalu menulis, Gambatteee!
Kalau sy, berharap cerita itu masih ada lanjutan atau plot twist-nya, mbak. Rasanya belum selesai 😂😂😂 semangat terus menulis, mbk 👍
BalasHapusHwaa kereen asli!! Semoga dimudahkan jalan cita-citanya yaaa. Btw vi penasaran ama komik yang Mba tulis dengan mesin ketik, kalau masih ada arsipnya, mau lihaaat 😍 Semangaaat nulis yaaa
BalasHapusSemangat Mbaa..aku suka ceritanya sederhana dan hangat..ayo ikut lomba cerpen Gandjel Rel temanya ultah, bisa kok cerita anak. Cerita ayam goreng ini bisa dimodifikasi lagi biar ada bau-bau ultahnya..ditunggu ya..terima kasih banyak ya mbak artikelnya jadi terharu..
BalasHapusMenulis untuk bersenang senang, wah setuju sekali aku, Mbak..
BalasHapusDulu aku baru berani ngirim ke majalah dinding sekolah dan ke radio saja .Keren sekali, Mbak artikel nya