Belajar Dari Dongeng
By Yuniar Djafar - Februari 01, 2021
Bismillah.
Membaca dan bercerita/mendongeng buat saya seperti sekeping mata uang, mempunyai dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Saya membaca buku cerita/dongeng biasanya dengan tujuan untuk menceritakannya kembali. Untuk saat ini kebutuhan saya adalah mendapat bahan dongeng sebelum tidur buat cucu saya.
Saat usia setahun-dua tahun saya sudah pernah memulai mengenalkan dongeng kepadanya tapi sepertinya waktu itu dia belum bisa memahami dengan baik. Dan kini usianya sudah tiga tahun lebih beberapa bulan, saya mulai lagi hal itu. Kali ini berbeda, tanggapannya seperti yang saya harapkan. Dia antusias dan setiap saya berhenti karena mengantuk, selalu bilang, "Lagi, lagi...ceritanya." Ada kalanya dia bahkan menyebut judul cerita atau dongengnya, "Bawang,bawang..." Itu karena bibinya, keponakan saya saat tengah berlibur di rumah, pernah mendongenginya dengan cerita Bawang Merah-Bawang Putih.
Cerita yang saya sampaikan pertama kali adalah cerita para Nabiyullah. Cerita Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa salam dan Nabi Musa 'alaihi wa sallam adalah cerita yang sudah saya dongengkan kepadanya.
Saya sempat terheran-heran ketika cucu saya itu, menyebut "cerita Tuhan" jika ingin mendengar cerita itu kembali. Tapi kemudian saya pun mahfum, sepertinya dia mengerti jika para Nabi itu utusan Tuhan.
Terlepas dari semua itu, suatu saat aku ingin bacakan dongeng dari Perancis ini untuknya.
Foto Koleksi Pribadi |
Dongeng La Fontaine, Burung Layang-layang dan Burung Kecil, judul dongeng itu. Buku terbitan Pustaka Utama Grafiti tahun 1994 ini dulu saya beli di toko buku Grafiti, di jalan Sumatera Surabaya. (Hihihi, 1994..ada yang belum lahir, ya?)
Dongeng yang menceritakan seekor burung layang-layang tua dan sekawanan burung kecil.
Dikisahkan ada sekawanan burung kecil yang setiap hari bermain dan bertengger pada pepohonan yang tumbuh di sebuah ladang.
Di tempat yang sama, seekor burung layang-layang tua melihat bahaya besar yang bisa menimpa sekawanan burung kecil itu. Dia yang kenyang dengan asam garam dunia mengkhawatirkan keselamatan mereka.
Ladang itu milik para petani yang sedang menanam tanaman rosela.
Sejak para petani itu menebar benih rosela, burung tua itu sudah menasihati agar mereka menggagalkan kerja para petani. Tapi burung-burung kecil itu tak menghiraukan.
Bertambahnya hari membuat bertambah pula kekhawatiran burung layang-layang. Tanaman itu tumbuh subur. Maka burung layang-layang itu pun menghampiri kembali kawanan burung kecil dan mengingatkan bahayanya. Tapi sedihnya, burung tua itu malah diejek dan dituduh halu.
Begitu selalu yang dilakukan oleh burung layang-layang tua itu. Tak bosan-bosannya mengingatkan meski diejek atau dihina.
Suatu hari kekhawatiran burung layang-layang tua itu menjadi kenyataan, hatinya sedih menyaksikan burung-burung kecil naif itu mati tercekik jeratan para petani yang berbahan serat tanaman rosela.
Membaca ulang dongeng itu saat ini, saya merasakan suasana batin yang berbeda. Seperti memasuki sebuah ruang baru yang lebih luas dengan cahaya benderang. Tidak sama dengan ketika saya pertama kali membacanya dulu di usia muda.
Dulu saya hanya melihat dongeng itu seperti berada dalam sebuah kotak yang tertutup, bahwa kisah ini hanya sebuah dongeng, sebuah hayalan, tidak lebih. Tokoh-tokohnya adalah burung layang-layang, burung-burung kecil dan petani, titik. Cerita itu mengandung nasihat yang baik, hanya itu.
"Jadi, burung-burung kecil itu sombong, ya... Akibatnya sekarang mereka terjerat padahal sudah diberitahu sama burung layang-layang," itulah yang saya ucapkan saat mendongeng dulu. Benar juga, sih, tapi rasanya datar-datar saja.
Kini saya bisa melihat betapa banyak burung kecil yang menyakitkan hati itu. Saya juga bisa merasakan betapa hampanya hati burung layang-layang tua ketika nasihatnya tidak dihiraukan bahkan diejek. Lalu para petani itu, ah..., mereka adalah sekelompok manusia yang hanya memikirkan keuntungan mereka sendiri.
Saya juga bisa merasakan rasa bersalah dan penyesalan. Dulu saya pernah menempati peran burung-burung kecil itu. Tidak hirau bahkan mengejek sebuah nasihat padahal nasihat itu adalah nasihat baik, padahal penyampai nasihat bermaksud melindungi saya dari bahaya. Tapi respon saya dulu bahkan lebih tengil dari polah sekawanan burung kecil dalam dongeng itu. (Astagfirullah).
Burung layang-layang tua, saya berada pada posisinya saat ini. Dari dongeng itu saya belajar bahwa kata-kata tidak pernah cukup. Saya harus memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan.
Dan lebih dari semua itu, bersandar kepada Yang Menciptakan "burung-burung kecil" itulah yang harus saya lakukan. Tugas saya hanya menyampaikan atau mengingatkan. Bahwa yang bisa membuat hati "burung-burung kecil" itu sadar dan paham hanyalah Allah.
"Sesungguhnya hati berada di tangan Allah 'azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya."
(HR. Ahmad 3/257. Syaikh Syu'aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat) sesuai syarat Muslim).
Karenanya saya tak boleh lelah berdoa memohon kepada-Nya agar ucapan saya bisa dipahami dengan baik oleh "burung-burung kecil" di "ladang" saya. Dengan doa saya ingin Allah membuka mata hati mereka agar mereka tahu yang saya inginkan dari mereka adalah keselamatan mereka. Saya tidak ingin mereka terjerat bahaya karena saya mencintai mereka. (Baca juga: Inilah Cinta Itu. )
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Doa adalah sebab terkuat bagi seseorang agar bisa selamat dari hal yang tidak disukai dan sebab utama meraih yang diinginkan."
Sumber:
Teks hadits diambil dari www.rumaysho.com
0 komentar