Cerita Tentang Soto Madura di Surabaya
By Yuniar Djafar - Januari 30, 2022
Bismillah.
Ini cerita tentang makanan kesukaan keluarga besar saya. Berawal dari kegemaran bapak dan terus terbawa menjadi menu fave keluarga hingga kini, turun ke generasi ke tiga. Makanan itu soto madura, orang menyebutnya. Cucu saya sangat lahap bila disuapi soto ini.
Soto di Surabaya
Di Surabaya ada dua jenis soto, yaitu soto ayam dan soto daging. Sama seperti yang terjadi pada sate, jika kita menyebut sate daging, pastilah yang dimaksud adalah sate daging sapi (padahal pada sate ayam pun yang dipakai adalah dagingnya, kan, ya? 😃). Dan soto daging di Surabaya adalah soto madura. Tidak ada yang lain.
Terkenal di Surabaya, tidak dikenal di tanah asalnya
Tapi tahukah kalian jika di Madura sebenarnya tidak ada soto daging? Di Madura, jika kita menyebut soto maka yang akan kita dapatkan adalah soto ayam. Ya, di Madura tidak ada soto daging, memang! Jika kalian menginginkan makanan berkuah berbahan "daging", yang kalian akan temukan adalah kaldu kokot atau sup kaki sapi. Kuahnya bening dengan butiran kacang hijau.
Di Surabaya jika tertulis soto madura maka yang dimaksud adalah soto daging (sapi). Sedang untuk mudahnya kami, warga Surabaya, menyebutnya soto daging. Makanan ini menjadi santapan ideal pada saat sarapan. Pada awalnya para penjual soto ini hanya membuka warungnya pada pagi hari, sekitar pukul enam pagi (jam-jam sarapan) dan pada jam sembilan atau sepuluh pagi sudah tutup. Mereka sepertinya memiliki target penjualan tertentu setiap harinya. Dan itu mereka jalankan secara konsisten. Jika dagangan sudah habis mereka akan segera menutup warung. Keesokan harinya dan seterusnya mereka akan menyediakan porsi dagangan yang sama meski penikmatnya meningkat. Akibatnya banyak yang tak kebagian.
Saya masih sempat merasakan pengalaman pada tahun-tahun 80-90an antrian cukup panjang untuk bisa menikmati soto ini di warungnya. Tapi bersyukurnya kerja mereka sangat cekatan sehingga tak perlu butuh terlalu lama untuk mendapatkan semangkuk soto. Dan pelanggan yang sudah menghabiskan sotonya pun tahu diri, tak enak hati untuk berlama-lama di warung karena banyak yang berharap mendapatkan tempat duduk di dalam warung.
Nah, untuk memberitahu kepada para pelanggan bahwa soto masih ada maka para penjual itu menuliskan di sebilah papan bahkan karton ala kadarnya: Soto Ada. Mungkin maksudnya agar pelanggan tidak ragu memasuki warung mereka. Jadi jika tulisan "Soto Ada" itu sudah tidak ada meski warung masih buka atau rombong sotonya masih ada, maka siap-siap kecewa, karena itu pertanda soto sudah habis.
Karena itu pula, banyak juga yang bukan penduduk asli Surabaya menyebut soto daging madura itu sebagai "soto ada". Ya, gegara tulisan yang dipasang itu tadi. Hahaha...
Namun seiring dengan berjalannya waktu para penerus mereka mulai belajar merespon permintaan sehingga mulailah ada yang menyediakan porsi yang bisa tersedia hingga makan siang. Dan saat ini tak sulit lagi mendapatkan soto daging ini pada siang hari. Meski begitu, sampai saat ini, sangat jarang yang buka hingga malam hari.
Penyajiannya
Soto ini dihidangkan dengan dua cara, yaitu langsung bersama nasi pada satu mangkuk atau disajikan secara terpisah antara nasi dan sotonya. Jika terpisah maka nasi diletakkan di atas sebuah piring sedangkan soto ditempatkan pada wadah mangkuk. Biasanya ada perbedaan harga untuk masing-masing cara penyajian ini. Soto yang langsung campur dengan nasi pada wadah mangkuk lebih murah, meski tidak banyak selisihnya. Biasanya begitu.
Dulu nasinya dibungkus daun ploso dengan ukuran sekepalan tangan orang dewasa berukuran sedang. Tapi ketika pohon ploso semakin sulit ditemukan, beralih dibungkus daun pisang. Daun pisang sulit diperoleh dan jadi mahal, sekarang disajikan langsung tanpa bungkus.
Isinya? Isinya adalah irisan daging sapi berikut jerohan dan gajihnya serta telur rebus. Tapi kita bisa memilih isian, kok. Boleh minta hanya dengan irisan daging saja atau apa saja yang kita inginkan. Selama persediaan bahan yang diinginkan ada, biasanya penjualnya dengan senang hati melayani. Bahkan tak jarang mereka juga menyediakan buntut. Sedangkan untuk nasi, beberapa penjual juga menyediakan penggantinya, yaitu ketupat, meski tak banyak.
Kuahnya cenderung buket atau agak keruh sedikit kekuningan, tanpa santan. Penggunaan rempahnya masih terasa tapi ringan-ringan saja. Sebagai pelengkap, kuahnya ditaburi rajangan seledri tipis-tipis serta bawang merah goreng. Dan biasanya di meja sudah tersedia masing-masing botol kecap asin dan kecap manis serta garam berikut jeruk nipis. Jadi bagi yang suka asin bisa menambahkan kecap asin atau garam.
Soto madura yang terkenal (dulu)
Soto madura legend di Surabaya adalah Soto Gubeng Pojok. Letak depotnya sangat strategis, yaitu di jalan Gubeng Pojok, dekat stasiun Gubeng Surabaya. Sekarang tak ada lagi Depot Soto Gubeng Pojok. Lokasi depot itu telah berubah menjadi belokan jalan menuju Monkasel (Monumen Kapal Selam) dari arah utara.
Dahulu para pejabat atau para pesohor pada masa itu sering ditemui andok soto di depot ini. Yang saya ingat, saya pernah melihat menteri era pemerintahan Soeharto, Abdul Latif sarapan di situ. Saat itu saya sedang sarapan bersama bapak saya. Bisa dikatakan itu adalah perpisahan kami (saya dan bapak) dengan Soto Gubeng Pojok karena kurang lebih sebulan atau dua bulan kemudian tempat itu digusur. Kalau benar ingatan saya, penggusuran itu terjadi pada pertengahan tahun 80an.
Tergusurnya Soto Gubeng Pojok membuat para maniak soto daging memadati warung Soto Gubeng PJKA. Soto Gubeng PJKA ini sepertinya berdiri pada tahun-tahun yang sama dengan Soto Gubeng Pojok, sepertinya begitu. Tapi lokasinya kalah prestige.
Disebut Soto Gubeng PJKA, karena menempati tanah PJKA (sekarang INKA). Tapi sejak pemiliknya, pak haji Ismail, meninggal tak ada lagi penerusnya. Sempat ada, sih, yang menempati warungnya dan mengklaim sebagai keponakan beliau tapi sayang, para pelanggan pak haji Ismail tak bisa menerima perbedaan rasa yang disajikan.
Kenangan soto madura dalam keluarga saya
Ada yang menjadi kenangan tak terlupakan pada benak saya dan keluarga saya. Mengenangnya membuat terharu sekaligus tertawa. Ini kisahnya.
Andok soto bersama keluarga adalah peristiwa istimewa, demikian pula anggaran yang disiapkan oleh ibu dan bapak. Sepertinya demikian. Tahu penyebabnya? Penyebabnya, saat itu, saat saya tiga bersaudara masih kecil, ada paklik (adik sepupu ibu) yang tinggal serumah dengan kami. Paklik saya ini sudah memasuki usia remaja (SMP). Tahu sendiri kan, kapasitas lambung anak lelaki usia remaja... Semega (baca: semego. Sega=nasi) istilahnya, dalam bahasa Jawa. Tak hanya itu, kakak saya (perempuan) meski masih SD, dia luar biasa, tidak kalah dengan paklik dalam kesanggupannya menghabiskan nasi jika disandingkan dengan soto daging. Hahaha... Kakak saya sanggup menghabiskan sepuluh bungkus nasi untuk menyelesaikan satu mangkuk soto. Terbayang kan, puyengnya ibu-bapak saya? Alhamdulillah, ibu mempunyai siasat jitu. Jadi setiap andok ibu selalu membawa keranjang piknik berbahan anyaman plastik. Di dalam keranjang itu, ibu menempatkan ketel nasi yang ditutupi serbet kotak untuk menyamarkannya.
Jadi untuk nasi, ibu dan bapak tidak memesan cacah jiwa melainkan sekedar syarat saja. Selebihnya kami menghabiskan nasi di ketel yang dibawa ibu... 😂
Pilihan soto madura keluarga saya sekarang
Sejak soto gubeng PJKA tutup, saya dan keluarga besar sempat "hunting" warung soto baru. Dan itu tidak mudah. Tapi akhirnya, alhamdulillah, di dekat tempat tinggal kami (satu kawasan) ada warung, Haji Misken namanya. Letaknya di jalan Kalasan. Haji Misken masih menggunakan tungku berbahan kayu bakar untuk memanaskan sotonya. Dan ini yang disukai kakak saya. Katanya, "Rasanya berbeda, lebih otentik." Kalau lidah saya tidak sepeka kakak, pakai kompor gas atau tungku kayu, tidak ada bedanya buat saya.
Warung Haji Misken ini dibuka sejak tahun 90an awal. Alhamdulillah sampai sekarang masih bertahan. Haji Misken mempercayakan warung di jalan Kalasan ini pada anak tertuanya, beliau sendiri memegang cabang yang di jalan Gersikan. Tapi sejak beberapa bulan terakhir, sang anak tertua ini beralih ke usaha bebek hitam sehingga yang di jalan Kalasan ini dipegang oleh adiknya.
Kalian kalau ingin mencicipi soto daging di jalan Kalasan ini jangan datang pagi-pagi, ya. Warung yang berada di utara perempatan jalan Kalasan ini (seberang RS Bersalin Aisyah), bukanya relatif siang. Amannya sih, jam 08.30 pagi, kalau saya bilang. Dan jelang sore hari, sekitar pukul 14.30 sudah tutup. Pada malam hari tempat mereka berjualan dipakai berjualan tahu campur. Ya, mereka hanya kontrak di tempat itu. Jalan Kalasan sendiri memang kawasan kuliner. Dari tengah hari hingga malam kawasan ini ramai oleh pengunjung meski akhir-akhir ini mereka terkena dampak pandemi juga.
- - -
11 komentar
Surabaya.. aku rindu 😭 meski soto daging bukan makanan favoritku (sekadar makan, nggak sampai suka banget). Makasih tulisannya Bu Yuniar, cukup untuk sedikit pengobat rinduku
BalasHapusSama-sama, mbak Aulia. In sya Allah ke Surabaya lagi setelah ni..., ngobati kangen.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussotonya laris juga yaa, setengah hari sudah tutup :D saya belum pernah coba soto madura, pengen ngerasain juga 😀
BalasHapusHayuuk ke Surabaya...
HapusIh ngiler banget loh sama sotonya. Aku jadi penasaran kenapa di Madura gak ada soto Madura pakai daging ya?
BalasHapusIya, ya, kenapa?
HapusBaca ini malem2 auto laperr... huhu.. sotonya keliatannya enak banget mba.. Jadi kepikiran soal tulisan di pembuka iyaya padahal ayam juga daging hehehe...
BalasHapusEh, gitu ya... Ayo, ke Surabaya!
HapusSuka banget soto daging tapi sekarang pantangan daging sapi jadinya beralih ke soto ayam kampung..huhu .
BalasHapusSabar,sabar... Hanya cobaan.Hahaha...
Hapus