Batik Diklaim Bangsa Lain, Jangan Hanya Marah-marah, ya...

By Yuniar Djafar - Oktober 27, 2021

- Proses Penjemuran Batik, Foto Koleksi Zulfa Batik Sogan, Pamekasan -





Bismillah.

Sudah tahu belum kalau tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional? Ya, Hari Batik sudah berlalu tetapi kemarahan warganet Indonesia terkait klaim Miss World Malaysia 2021 terhadap batik masih terasa. Kemarahan yang muncul sejak Ahad, tanggal 17 Oktober. Meski Sang Miss World Malaysia, Lavanya  Sivaji akhirnya meminta maaf pada 21 Oktober melalui akun instagramnya, kemarahan itu masih berlanjut. Dan kini kemarahan itu bergeser menjadi kegusaran. Gusar karena tidak hanya kali ini saja  Malaysia mengklaim budaya Indonesia  sebagai miliknya, gusar karena tak hanya Malaysia yang mengklaim batik. Disebutkan Cina pun melakukan hal yang sama dengan Malaysia. 

Pengakuan UNESCO atas batik sebagai Masterpiece of The Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity atau Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Takbenda pada sidang di Abu Dhabi tanggal 2 Oktober 2009  tidak menyurutkan nyali kedua negara (Malaysia dan Cina) dalam mengklaim batik.

Benar yang disampaikan oleh Menlu Retno Marsudi pada acara Pembentangan Perdana Mahakarya Kain Batik Garuda Nusantara, tahun lalu, "Saya rasa kita semua patut besyukur karena pengakuan tersebut adalah wujud apresiasi dunia kepada salah satu kekayaan budaya bangsa kita."

"Namun tantangan kita setelah ini tidak mudah," lanjutnya.

Tantangannya adalah merawat dan melestarikannya.

Batik Dahulu

Batik memang karya budaya adiluhung bangsa Indonesia yang banyak menarik minat warga dunia. Motif dan goresannya sering menghadirkan kekaguman para pecinta wastra dunia.

Penerapannya pun oleh para pendahulu kita sangat luar biasa. Tak ada kesan pengkotakan "sexism" pada motif batik. Ketika tekstil keluaran pabrik menghasilkan motif yang seolah-olah "sexism" karena terdapat perbedaan secara tersirat motif untuk pria dan wanita, batik melangkah lebih maju. Motif bunga yang identik dengan wanita, dalam batik, motif tersebut tetap hadir dengan aura gagah yang memperkuat kesan maskulin para pria pemakainya. 

Para wanita, yang nota bene pendahulu kita, nampak luwes saja mengenakan kain batik pada jarit untuk bagian bawahnya berpadu dengan kebaya bermotif keluaran pabrik. Tabrak corak tak pernah menghalangi keanggunan penampilan para wanita Indonesia. Untuk membuktikannya coba tengok foto-foto lawas simbah putri atau bahkan simbah buyut. 

Batik selalu mewarnai kehidupan nenek moyang kita. Siklus hidup mereka dari lahir hingga menutup mata  selalu ada peran batik di dalamnya. Batik pun mempunyai nilai tinggi hingga dihargai dengan diterima sebagai jaminan dalam hutang piutang antara mereka.


Batik Masa Kini

Masa kini, batik tak bisa menghindari nilai praktis populer yang bersifat temporer (sementara). Batik hanya dipahami sebagai motif tekstil biasa. Tak dikenali lagi filosofi yang menyertai motif-motifnya. Motif-motif batik baru pun dibuat dengan tujuan hanya memenuhi selera pasar. 

Ada kalanya proses batik, yang menjadi syarat sebuah coretan dikatakan batik, hanya mengguratkan ulang motif-motif populer yang biasa ditemukan pada tekstil keluaran pabrik. Karenanya awam kesulitan membedakan antara proses printing tekstil pabrikan dengan celupan batik yang menggunakan malam dan canting sebagai sarananya. Ada pula sebaliknya, pabrik tekstil memanfaatkan motif-motif asli batik dengan teknik printing biasa. Hmm, jadi tambah bingung, ya...

Siapa salah?

Menghadapi hal ini tak bijak mencari pembuat kesalahan. Akan lebih elok jika kita mulai menanamkan kesadaran pada diri kita sebagai anak bangsa pemilik batik otentik tentang keluhuran batik. Menerima nilai luhur itu sebagai nilai karya seni yang membanggakan. Dan semua itu dimulai dengan memahami setiap proses kehadiran batik secara utuh

Selebihnya adalah selalu menjadikan batik sebagai alternatif utama dalam keseharian kita. Di sinilah peran kita. Ketika kita tidak menjadikan batik sebagai alternatif utama sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung kita telah menyorongkan batik pada kepunahannya. Bagaimana bisa? 

Ini jawabannya. Batik adalah karya budaya dan budaya akan lestari ketika masyarakatnya melakukannya berulang-ulang, menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika hal ini tidak terjadi maka budaya itu akan mandek dan akan menjadi sesuatu yang asing, yang terabaikan. Budaya tersebut akhirnya akan punah karena tidak ada yang memperdulikannya dan menggunakannya. Jika sudah demikian klaim bangsa lain atas sebuah budaya (yang terabaikan tersebut) menjadi sesuatu yang bisa dipahami. Dan jamak pula jika dunia akan menganggap sebuah budaya sebagai milik suatu bangsa yang lebih intens menggunakan dan memanfaatkan budaya tersebut sebagai keseharian jati diri bangsa tersebut.  

Lalu apa lagi?

Selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai luhur batik kepada generasi penerus dengan mengenalkannya sejak dini dengan penuh kebanggaan. Catatan besarnya adalah: dengan penuh kebanggaan. Karena kebanggaan kitalah yang akan membuat generasi penerus kita bangga pula untuk melestarikannya. 

Diharapkan dengan begitu tak ada lagi (hanya) marah-marah kala batik diklaim oleh bangsa lain. 

Bagaimana menurut kalian?




Sumber

1. https://nasional.kompas.com/read/2020/10/02/21564191/hari-batik-nasional-menlu-pengakuan-unesco-diapresiasi-tapi

2. instagram @kris.moerwanto, https://www.instagram.com/p/CVWtiubpxqE/?utm_medium=share_sheet

 








 

  • Share:

You Might Also Like

9 komentar

  1. Dulu saya pernah bercita2 belajar mbatik, soalnya eyangputri rajin membatik di masa mudanya.. saya ingin mencoba, tapi kapan ya? Mungkin perlu daftar kalau ada kelas/kursus membatik ya, Bu Yuniar. Biar paham batik yg sesungguhnya, sebagai warisan bangsa Indonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga Allah mudahkan, mbak, dlm teruskan kebaikan eyang putrinya. Aamiin.

      Hapus
  2. iya betul mba, kita harus berbuat bukan cuma marah-marah. Salah satu caranya sebagai ibu saya ceburkan anak-anak ke klub budaya yang mempelajari aneka budaya di dunia, termasuk ada belajar batik dan saling bertukar informasi dengan pelajar di LN di forum tersebut. jadi anak-anak sebagai generasi penerus kita perkenalkan batik, pakai baju batik, pelajari ttg batik. ibunya jadi belajar juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyes,betul. Semoga Allah mudahkan ya, mbak Opi...

      Hapus
  3. pengetahuan saya tentang batik masih sangat minim. sekedar tahu nama tapi tidak tahu wujud coraknya seperti apa. paling-paling cuma motif kawung yang saya tahu.
    bener juga sih, saya cuma bisa muni-muni ketika baca artikel yang rada-rada gimana tentang batik.
    saya memang harus belajar banyak tentang wastra nusantara

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setidaknya sudah ada rasa cinta di hati, ya... Idem, mbak Hartari, saya juga harus belajar banynyaaak, malah...

      Hapus
  4. Udah sering banget kearifan lokal kita diklaim sama bangsa lain. Itulah kenpa kita harus melestarikannya, salah wujud nasionalisme kita adalah menggunakan pakain batik di acara tertentu. Jadi, ingat Agnezmo pernah pakai batik disalah satu albumnya. Batik milik Indoesia jadi klo ada yg klaim aku suka keselgitu mbak hahahah

    BalasHapus
  5. Setuju Bu Yuniar, menurut saya dengan rasa bangga salah satu cara memperpanjang usia sebuah karya. Meski hanya pakai batik saat acara formal saja saya bangga terhadap warisan nenek moyang ini. -Ami-

    BalasHapus
  6. mungkin penggunaan seragam batik di satu hari dalam seminggu dalam peraturan perusahaan merupakan bentuk usaha untuk melestarikan batik ya, Bu.

    BalasHapus